HGU Beri Kepastian Hukum dalam Usaha Perkebunan

Hak Guna Usaha (HGU) memiliki kekuatan hukum dalam hal kepemilikan atau penguasaan dan pengelolaan area hutan.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Jun 2019, 16:05 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2019, 16:05 WIB
Penebangan Kebun Kelapa Sawit Ilegal di Taman Nasional Gunung Leuser
Perkebunan kelapa sawit ilegal di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, Kamis (1/11). Pohon-pohon tersebut ditanam sejak tahun 2014 di kawasan hutan lindung. (JANUAR/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menjamin bahwa Hak Guna Usaha (HGU) memiliki kekuatan hukum dalam hal kepemilikan atau penguasaan dan pengelolaan area atau wilayah yang digunakan sebagai usaha perkebunan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR)/BPN Ery Suwondo mengatakan, seperti halnya Sertifikat Hak milik (SHM), HGU juga bersifat pribadi (privat). Dengan demikian tidak mudah dan bisa sembarang orang bisa mengakses data-data HGU.

“Berbeda dengan SHM, HGU berbatas waktu 35 serta bisa diperpanjang hingga 25 tahun. HGU juga tidak bisa diwariskan turun temurun,” ujar dia di Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Ery mengakui, salah satu pemicu problematika yang berdampak pada konflik horizontal warga negara, pihak swasta dan pemerintah di lapangan yang menimbulkan permasalahan, serta kerugian ekonomi tingkat nasional terjadi, terutama karena lahan perkebunan bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan. 

“Pemberian HGU yang bermasalah, biasanya bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan. Namun pada prinsipnya, Kementerian ATR/BPN menerapkan proses yang ketat dan clear and clean,” ungkap dia.

Sebagai contoh, hingga kini pihaknya masih menahan pemberian HGU untuk 80 ribu hektare bakal areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hal ini karena arealnya bersinggungan bahkan masuk atau memakai kawasan hutan. Jika HGU itu diberikan maka akan mengubah tata ruang wilayah tersebut secara signifikan.

Ery mengharapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dapat menjadi solusi tumpang tindih regulasi dan peraturan terkait lain yang menjadi penyebab timbulnya konflik lahan di perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit.

“Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sedang memproses bersama DPR. Kebijakan ini sebagai upaya untuk mengatasi dan mensinergikan regulasi yang tumpang tindih dalam pengelolaan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri,” kata Ery.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Selanjutnya

Wisata Mangrove Bekasi
Perahu wisatawan melewati hutan mangrove di Sungai Rindu, Desa Hurip Jaya, Babelan, Bekasi, Jumat (7/6/2019). Berkeliling naik perahu melewati kawasan hutan mangrove di Sungai Rindu ini menjadi daya tarik para wisatawan lokal. (merdeka.com/Arie Basuki)

Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkundan, Sadino menyatakan, pemerintah punya kewenangan untuk menolak membuka seluruh data HGU karena tata cara di undang-undang perkebunan sangat ketat untuk mendapatkan HGU. Selain produser ketat, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan HGU sangat panjang.

”Pemerintah juga menerapkan aturan konsesi clear and clean sebelum menerbitkan izin HGU,” kata dia. 

Menurut Sadino, dalam proses pembuatan HGU, semua persoalan menyangkut hak rakyat dan ulayat sudah diselesaikan terlebih dulu, sebelum HGU diterbitkan. Hanya saja, Persoalan terbesar yang sering terjadi, biasanya ada kelompok tertentu yang merupakan pendatang kerap mengatasnamakan rakyat untuk menuntut tanah yang bukan haknya.

”Ini persoalan klasik yang terjadi hampir diseluruh konsesi,” tutur dia.

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU diberikan untuk masa berlaku paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.

Setelah jangka waktu HGU dan perpanjangannya selama 25 tahun telah berakhir, pemegang hak dapat diberikan pembaruan HGU di atas tanah yang sama untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

978.108 Ha Lahan Hutan Tak Produktif Segera Diserahkan ke Masyarakat

Ilustrasi hutan
Ilustrasi (iStock)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kini tengah mengkaji penyerahan lahan hutan tidak produktif yang masih bisa dikonversi seluas 978.108 hektare (ha) kepada masyarakat. Adapun lahan-lahan tersebut terletak di 20 provinsi seluruh Indonesia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, seluruh lintas kementerian/lembaga akan segera bersama-sama menyiapkan suatu pedoman terkait rencana pembagian lahan Hutan Produksi Konversi (HPK) ke masyarakat.

"Setelah itu pak Menko Perekonomian akan undang para gubernur, sekalian sambil menyelesaikan yang perintah bapak Presiden (Jokowi) untuk mengeluarkan kawasan pemukiman dari konsesi. Apakah HGU (Hak Guna Usaha), apakah konsesi hutan, itu akan sekaligus dibahas bersama para gubernur," jelasnya di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (7/5/2019).

Secara proses penyerahan, Siti Nurbaya menghendaki, itu bisa dilakukan secepatnya tahun ini. "Segera. Jangan-jangan sebelum Lebaran," seru dia.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tanah seluas 978.108 ha itu terbagi ke dalam dua kategori lahan, yakni Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 938.879 ha dan Lahan Cetak Sawah sebesar 32.229 ha.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya