Liputan6.com, Jakarta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Asosiasi menganggap kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan membuat daya beli masyarakat jatuh.
Presiden KSPI Said Iqbal mencontohkan, untuk peserta kelas III rencananya naik dari Rp 25 ribu menjadi Rp 42 ribu. Jika dalam satu keluarga terdiri dari suami, istri dan 3 orang anak, maka dalam sebulan keluarga tersebut harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 210 ribu.
"Bagi warga Jakarta dengan standard upah minimum Rp 3,9 juta mungkin tidak memberatkan. Walaupun mereka juga belum tentu setuju dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan," ujar dia dalam sebuah keterangan tertulis, Rabu (4/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Namun, ia kemudian membandingkan dengan kabupaten/kota yang upah minimumnya di bawah Rp 2 juta seperti Ciamis, Tasikmalaya, Yogyakarta, dan Sragen, yang disebutnya bakal kesulitan untuk membayar iuran tersebut.
"Bagi daerah yang upah minimumnya di kisaran Rp 1,5 juta, kekuarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga harus mengeluarkan biaya sebesar 210 ribu atau hampir 20 persen dari pendapatan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan," kata Iqbal.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perbedaan Upah Minimum Tiap Daerah
Hal itu, tegas Iqbal, akan sangat memberatkan. Dia menilai uang tersebut akan hilang, dalam artian tidak bisa diambil kembali. Oleh karenanya, ia mengatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan membuat daya beli masyarakat jatuh, apalagi tingkat upah minimum tiap-tiap daerah berbeda.
"Satu hal yang harus disadari, setiap tahun iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan buruh selalu ada kenaikan. Jangan dipikir setiap tahun tidak ada kenaikan," tegas dia.
Dia menjelaskan, iuran BPJS Kesehatan dari buruh besarnya 5 persen dari upah, dimana 4 persen dibayarkan pengusaha dan 1 persen dibayarkan buruh. Ketika setiap tahun upah mengalami kenaikan, setiap tahun iuran BPJS juga mengalami kenaikan.
"BPJS Kesehatan merupakan asuransi sosial yang dikelola oleh negara. Oleh karena itu, asuransi sosial asing tidak boleh ikut campur dalam mengelola BPJS Kesehatan karena melanggar konstitusi," tukas dia.
Advertisement
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bakal Berdampak ke Inflasi
Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk kelas I dan II akan mengalami kenaikan secara efektif pada 1 Januari 2020. Masing-masing kelas ini akan naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 dan Rp51.000 menjadi Rp110.000.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar dua kali lipat akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk jaminan kesehatan meningkat.
"Ini kan akan mengurangi kesejahteraan masyarakat secara langsung. Tadinya bisa nabung, tahu-tahu tidak bisa nabung. Katakan lah begitu," ujar Tauhid di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/9).
Kenaikan iuran tersebut secara langsung juga pasti akan berpengaruh terhadap inflasi. Di mana, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan mendorong administered price atau harga yang diatur pemerintah melonjak lebih tinggi dari sebelumnya.
"Logikanya begini, kan BPJS itu kalau ada iuran kenaikan mereka harus mengeluarkan uang yang lebih banyak, uang lebih banyak, otomatis menyebabkan konsumsi mereka untuk kesehatan meningkat," jelas Tauhid.
Masyarakat nantinya juga akan mengurangi pembelian barang-barang lain agar mampu menutupi biaya jaminan kesehatan. Pengaruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan terhadap inflasi akan langsung terasa begitu keputusan ditetapkan oleh pemerintah.
"Mereka juga akan mengerem pengeluaran yang lain dengan pendapatan yang tetap. Ini yang menyebabkan pengaruh iuran BPJS kesehatan ke inflasi. Ini secara langsung ya, di mana biasanya Rp80.000 sekarang Rp160.000 kali anggota keluarga 4 otomatis akan menngkat," paparnya.