Berlaku 17 Oktober, Simak Isi Aturan Produk Wajib Sertifikasi Halal

BPJPH merupakan badan di bawah Kementerian Agama yang nantinya mengambil kewenangan MUI dalam pengujian dan sertifikasi halal suatu produk.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 16 Okt 2019, 16:12 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2019, 16:12 WIB
Logo Halal. Dok MUI
Logo Halal. Dok MUI

Liputan6.com, Jakarta - Semua produk makanan wajib mencantumkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Sertifikat halal tak lagi diterbitkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hal itu sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Beleid ini diundangkan pada masa Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014.

"Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal," kutip Pasal 4, UU nomor 33/2014.

Dalam UU, BPJPH resmi beroperasi pada Kamis, 17 Oktober 2019. Ini sesuai pasal 67 dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH yang menyebutkan aturan harus berlaku lima tahun setelah UU ini disahkan.

BPJPH merupakan badan di bawah Kementerian Agama yang nantinya mengambil kewenangan MUI dalam pengujian dan sertifikasi halal suatu produk. Sementara, MUI berperan menetapkan kehalalan produk lewat Sidang Fatwa Halal, sehingga proses tak lagi satu atap.

Mengutip situs Kemenag.go.id, Rabu (16/10/2019), berikut garis besar penjabaran tentang ketentuan produk halal dalam UU nomor 33/2014:

Pasal 1

1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk.

5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.

7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama,dan cendekiawan muslim.

8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatanpemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.

9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.

10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkanfatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.

12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badanhukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.

13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH.

14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

Dalam pasal 5 menyebutkan, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang dilaksanakan oleh Menteri. Dalam penyelenggaraan JPH dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 10 membahas kerjasama Kerja sama BPJPH dengan MUI. Di mana kerja sama dalam bentuk sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan Produk dan akreditasi LPH.

Pasal 12 mengatakan, jika pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH. Serta mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

"Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku lima tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan," demikian tertulis dalam UU JPH Pasal 67 ayat 1.

Menurut pasal 42 dari UU Jaminan Produk Halal, sertifikat halal BPJPH berlaku selama empat tahun dan harus diperbarui tiga bulan sebelum masa berlaku berakhir. 

Meski tanggal 17 Oktober aturan ini mulai dilaksanakan, ada grace period selama lima tahun untuk keperluan sosialisasi. Lebih lanjut, sertifikat halal MUI yang eksisting juga terus berlaku sampai masanya berakhir.

"Sertifikat Halal yang ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir," jelas Pasal 58 UU JPH.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Semua Makanan dan Minuman Wajib Bersertifikasi Halal

Kosmetik
Logo kosmetik halal. (via: twitter.com)

Penyelenggaraan layanan sertifikasi halal akan mulai berlaku 17 Oktober 2019. Nantinya secara perlahan, semua produk, baik makanan, barang maupun jasa harus bersertifikasi halal.

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso mengatakan, kewajiban bersertifikat halal akan diberlakukan secara bertahap, baik untuk produk maupun jasa. 

"17 Oktober 2019 memang masa di mana kewajiban bersertifikat halal diberlakukan untuk semua produk baik berupa barang maupun jasa. Namun Undang-Undang 33 tahun 2014 menyebutkan pemberlakuan itu dilakukan secara bertahap," ucap Sukoso, dikutip dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag) www.kemenag.go.id, Rabu (16/10/2019).

Dia menjelaskan, klausul tersebut kemudian dipertegas di Peraturan Pemerintah atau PP 31 tahun 2019 bahwa penahapan sertifikasi halal dimulai dari produk makanan dan minuman. Sedangkan tahap selanjutnya untuk produk selain makanan dan minuman.

Sejumlah persiapan pun terus dilakukan BPJH, salah satunya adalah finalisasi Peraturan Menteri Agama (PMA) yang saat ini tengah diharmonisasi dengan kementerian dan instansi terkait.

Staf Ahli Menteri Agama bidang Hukum Janedjri M Gaffar menjelaskan sejumlah alasan sertifikasi halal diberlakukan bertahap.

"Pertama, sudah ada produk yang bersertifikat halal, sebelum diberlakukannya UU 33 tahun 2014. Kesiapan pelaku usaha dan infrastruktur pelaksanaan JPH juga menjadi pertimbangan dalam penahapan produk berkewajiban halal ini. Selain produk itu merupakan kebutuhan primer dan dikonsumsi secara massif," papar Janedjri.

Barang dan Jasa Setelah Makanan dan Minuman

Ilustrasi restoran
Ilustrasi restoran

Janedjri menjelaskan, adapun penahapan bagi produk selain makanan minuman akan diberlakukan mulai 17 Oktober 2021 atau dua tahun setelahnya.

Menurut dia, penetapan itu semacam diskresi setelah mempertimbangkan teks, konteks, dan original konteks hukum. Di samping hasil pembicaraan dengan MUI yang berpengalaman dalam menyelenggarakan sertifikasi halal.

"Iya. Itu semacam diskresi. Dan itu dibenarkan dari logika dan tafsir hukum. Toh masih ada klausul bahwa meski berlaku kewajiban bersertifikat halal, produk yang tak bersertifikat halal masih diijinkan beredar dan diperdagangkan. Jadi tak perlu kuatir," tegasnya.

Janedjri mengaku pengaturan penahapan itu sudah dituangkan sangat detil pada Rancangan PMA yang kini tinggal harmonisasi dengan instansi terkait.

Justru, kata dia, yang menjadi konsen BPJPH adalah bagaimana masa mulai kewajiban bersertifikat halal itu tidak disalahpahami oleh pihak-pihak tertentu.

"Ada kekhawatiran beberapa pelaku usaha akan terjadi sweeping saat pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal itu dimulai. Makanya, kami mengundang pihak Polri dan kementerian lain agar bisa antisipasi jika ada kejadian di masyarakat atau salahpaham selama masa penahapan itu berlaku. Di sinilah pentingnya sosialisasi secara massif dengan semua kanal media," pungkas Janedjri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya