Liputan6.com, Jakarta - Kepala Kajian Makro LPEM Universitas Indonesia (UI), Febrio Kacaribu memprediksi pertumbuhan ekonomi global yang relatif buruk pada periode mendatang.
Pertumbuhan global mengalami perlambatan dalam dua kuartal terakhir secara berturut-turut, sementara ekspektasi pasar di negara maju telah mencapai level terendah sejak krisis keuangan global (GFC) di tahun 2008.
"Di samping penurunan pertumbuhan volume perdagangan dunia, yang juga mencapai level terendah sejak krisis keuangan global. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2019 diperkirakan lebih rendah dibandingkan 2018 dan masih belum ada tanda-tanda apakah pertumbuhan akan meningkat," kata dia, dalam acara Indonesia Economic Outlook 2020, di UI Salemba, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, pertumbuhan ekonomi dari empat perekonomian sistemik, yaitu AS, China, Wilayah Eropa, dan Jepang diperkirakan akan melambat di 2020. Prospek pertumbuhan yang suram ini merupakan dampak dari meningkatnya hambatan perdagangan, peningkatan ketidakpastian perdagangan dan geopolitik global, faktor spesifik.
"Menyebabkan terhambatnya pertumbuhan di beberapa ekonomi negara berkembang, serta faktor struktural, seperti rendahnya pertumbuhan produktivitas dan struktur demografi yang menua di negara maju," ujarnya.
Dia mengungkapkan probabilitas krisis pada 2020 meningkat seiring dengan tanda-tanda yang ditunjukkan oleh beberapa indikator. Salah satu indikator resesi ditandai oleh kurva imbal hasil AS yang terbalik, yang terjadi ketika hasil obligasi jangka pendek melampaui yang dari obligasi jangka panjang.
"Seperti yang diketahui secara umum bahwa kemiringan kurva imbal hasil obligasi pemerintah, ketika terbalik, merupakan sebagai peringatan awal resesi ekonomi di masa yang akan datang di negara maju, dan sudah terjadi di AS selama tahun ini. Dengan demikian, bentuk dari kurva imbal hasil di AS tahun ini memberikan sinyal yang lebih kuat bahwa resesi ekonomi di AS akan terjadi sekitar pertengahan tahun depan," ujarnya.
Â
Â
Manufaktur
Selain itu, sektor manufaktur menunjukkan adanya pelemahan perdagangan dunia. Secara global, terutama di perekonomian maju dan sistemik, kinerja sektor manufaktur terus memburuk
"Berdasarkan yang terjadi di Wilayah Eropa, Zona Eropa yang bertumpu pada ekspor sangat merasakan dampak yang dihasilkan oleh perdagangan dunia yang melemah. Jermanmencatat pertumbuhan PDB negatif pada Q2 2019 karena pelemahan industri manufakturnya lebih besar daripada ekonomi domestiknya," ujarnya.
Hal ini, nantinya, dapat memberi tekanan lebih besar pada Bank Sentral Eropa (ECB) untuk meningkatkan laju Quantitative Easing pada tahun 2020. Kondisi serupa juga terjadi di Jepang. Melambatnya kinerja sektor manufaktur, ditambah dengan kebijakan moneter yang terbatas dan populasi yang menua menempatkan Jepang pada posisi di mana tidak akan adanya peningkatan pada pertumbuhan ekonomi dalam waktu dekat.
"Sementara Cina sangat dirugikan oleh ketegangan dalam perang perdagangannya dengan AS, kondisi ekonomi domestiknya juga tidak mendukung pertumbuhan. Meskipun indeks manufaktur mereka kinerjanya lebih baik daripada sektor manufaktur negara maju, data ekonomi terbaru justru justru tidak menujukkan indikasi yang menggembirakan. PDB riil Tiongkok hanya tumbuh 6 persen pada Q3 2019, tercatat sebagai pertumbuhan terendah dalam 27 tahun rerakhir," ujarnya.
"Secara umum, data ekonomi menunjukkan gambaran yang suram dari situasi global saat ini," tutupnya.
Reporter:Â Yayu Agustini Rahayu Achmud
Sumber: Merdeka.com
Advertisement