Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda kenaikan harga gas bumi untuk industri disambut positif oleh kalangan pengusaha. Saat ini, rata-rata harga gas untuk sektor industri adalah sebesar USD 9-10 per MMBtu.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia, Achmad Widjaja menilai kebijakan Jokowi cukup melegakan para pelaku industri. Menurutnya, harga gas yang relatif rendah bisa mendorong pertumbuhan industri, penyerapan tenaga kerja dan penghematan devisa.
Adapun untuk harga ideal yang diharapkan pelaku usaha, Achmad menyatakan sesuai harga yang sudah dirujuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yaitu sebesar USD 6 per MMBTU.
Advertisement
"Saat pemerintah keluarkan kebijakan untuk bantu industri secara efektif. Harus ada garis komando Presiden, Kementerian ESDM perlu pelajari insentif bahwa harga USD 6 itu harus sungguh-sungguh diberikan," kata Achmad di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Baca Juga
"Dengan angka itu industri ada planning jangka panjang dalam hal produksi, efisiensi dan lain-lain. Kan posisi industri itu membantu negara, bantu ciptakan lapangan kerja bantu ekonomi dan sebagainya," tambahnya.
Senada dengan Achmad, Pengamat Migas Kurtubi menilai pemerintah perlu mendukung industri guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan, harga gas yang mahal justru berpotensi mematikan sektor industri di tanah air.
"Seyogyanya gas bisa mendorong industrialisasi. Sesuai amanah pasal 33 UUD 1945, sumber daya alam (SDA) digunakan untuk kemakmuran rakyat. SDA termasuk migas harus diarahkan untuk dorong naiknya pertumbuhan ekonomi. Caranya lewat industrilisasi," kata dia.
Kurtubi mengatakan, harga gas di Indonesia di kisaran USD 9-10 per MMBtu masih relatif mahal. Dia membandingkan dengan harga gas yang diekspor ke Tiongkok ada sebesar USD 3 per MMBtu dan Jepang di kisaran USD 11-12 per MMBtu.
"Saya dengar ada usulan kenaikan harga gas sampai USD13 per MMBtu. Harga gas (yang diekspor) di Jepang sekitar ISD 11-12. Kalau dinaikkan sekitar 12-13 which is sama dengan harga ekspor, padahal saat itu harga minyak mentah lagi mahal yaitu USD 100 per barel," paparnya.
Kurtubi sepakat bila harga gas yang ideal untuk industri yakni sebesar USD 6 per MMBtu.
"Dengan USD 6 mungkin industri migas bisa lari kencang. Cadangan gas kita juga masih banyak. Misalnya di Maluku itu blok Masela belum dieksplor," ucap dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Solusi Polemik Harga Gas
Sedangkan Pengamat energi Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara meminta pemerintah berlaku adil terkait permasalahan harga gas industri.
“Dalam kondisi seperti sekarang ini, harga gas dunia sedang turun. Jadi kalau dinaikkan memang benar bisa mempengaruhi daya saing produk industri kita. Namun, pemerintah seharusnya juga siap berkorban untuk mengurangi porsi bagi hasil bagian negara,” ujar Marwan, melalui sambungan telepon.
Data dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, dalam dua tahun terakhir penerimaan negara dari sektor migas selalu melebihi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada 2017, realisasi penerimaan negara dari migas menembus angka Rp 138 triliun alias 117 persen dari target APBN. Sementara tahun lalu, jumlah penerimaan migas mencapai Rp 228 triliun atau 182 persen dari target APBN.
Dengan demikian, masih ada ruang bagi pemerintah berkontribusi menciptakan harga yang adil dengan mensubsidi PGN agar tidak menaikkan harga jual gas ke pelanggan.
“Dengan memperkecil bagi hasil bagian negara, memang pendapatan sektor ESDM dari migas turun. Tetapi dengan harga gas yang tidak naik karena disubsidi dari bagi hasil bagian negara, industrinya tetap berkembang dan pemerintah dapat kompensasi dari penerimaan pajak penghasilan yang meningkat,” jelasnya.
Advertisement
Tiru Malaysia
Praktik negara menyubsidi harga gas untuk pelanggan industri menurut Marwan sudah berhasil diterapkan di Malaysia. Rendahnya harga gas di negeri Jiran ditopang dari struktur biaya pembentukan gas yang menerapkan Regulation Below Cost (RBC), di mana pemerintah memberikan subsidi sehingga harga gas di sana bisa separuh dari harga internasional.
Dengan memberikan subsidi harga gas industri, Marwan menyebut minimal harga gas tidak naik. Lalu pemerintah mensubsidi PGN dari sisi harga jual bagian negaranya yang tadi dikurangi.
“Malaysia melakukan itu supaya industri manufakturnya meningkat dan pasokan energi dari Petronas tidak terkendala,” tegasnya.