Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan pihak swasta bersama-sama mencari solusi dari lesunya pertumbuhan industri baja di Tanah Air. Salah satunya dengan menyediakan kawasan industri untuk sektor tersebut.
Founder Jababeka Group S.D Darmono mengatakan, saat ini sejumlah persoalan tengah dihadapi industri baja Indonesia, seperti kebutuhan baja nasional yang belum terpenuhi pemerintah, serbuan impor baja dari China, belum ada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bisa memengaruhi kualitas bangunan yang dibuat di masa depan.
“Kami mendukung apa yang dilakukan pemerintah untuk mendongkrak kebutuhan baja nasional. Kami sendiri punya kawasan industri jikalau ada pengusaha yang mau mendirikan pabrik baja di Indonesia untuk bisa mensuplai baja yang kurang," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Advertisement
Baca Juga
"Kawasan industri kami telah memiliki fasilitas dan infrastruktur yang sangat memadai. Terbukti dengan jumlah tenant yang saat ini lebih dari 2000 perusahaan dari 30 lebih negara. Kami juga ada di Kendal dengan luas 2.200 hektare, saat ini sudah ada 61 perusahaan yang bergabung dan harga tanah serta upah tenaga kerjanya relatif murah. Atau juga bisa di Morotai. Kami punya tanah seluas 1.101,76 Hektare, " lanjut Darmono
Founder President University ini menambahkan, perlunya Kemenperin mensosialisasikan cara membangun industri baja dan baja apa yang dibutuhkan pasar. Sehingga tak hanya menyelesaikan masalah industri baja Indonesia tapi juga bisa membantu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi negara.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Bisa Kerja Sendiri
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Harjanto menyatakan Kementerian Perindustrian tidak bisa bekerja sendiri untuk memperbaiki industri baja Indonesia dewasa ini. Peran antara pengusaha baja lokal dan akademis diperlukan karena persoalannya membutuhkan pihak lain.
“Ada faktor eksternal dan internal yang membuat kita kondisi industri baja mengalami masa sulit. Untuk bisa baja kita bersaing, diperlukan perbaikan kualitas dari baja lokal, yaitu lewat pemakaian teknologi baru dan juga mendorong pabrik-pabrik baja lebih terintegrasi prosesnya untuk mengurangi hit loss," jelas dia.
Kemudian, tambah Harjanto, limbah B3 (Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun) dari pengolahan baja itu sebenarnya masih bisa dipakai untuk pembuatan baja. Itu sudah diterapkan di 10 negara yang juga punya industri baja.
Advertisement
Energi Alternatif
Sementara Indonesia sendiri, antar lembaganya masih belum sepakat soal pengertian limbah B3. Kemudian, peralihan gas sebagai sumber untuk mengolah baja perlu dicari energi alternatifnya. Karena harga gas yang sangat tinggi.
“Kalau kita terapkan semua itu, baja lokal bisa bersaing dengan baja impor,” terang Harjanto.