Saham Perusahaan Alat Perang Raup Untung Saat Konflik Iran-AS Memanas

Beberapa saham dari perusahaan tersebut terpantau naik hingga lebih dari 20 persen akibat konflik Iran-AS.

oleh Nurmayanti diperbarui 08 Jan 2020, 14:46 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2020, 14:46 WIB
Militan Palestina Hujani Israel dengan Roket
Ilustrasi persenjataan.. (Jack Guez/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Saham-saham perusahaan yang memproduksi persenjataan di Asia melonjak. Kenaikan imbas konflik yang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat (AS). Beberapa saham dari perusahaan tersebut terpantau naik hingga lebih dari 20 persen.

Konflik Iran dan AS terus memanas. Terakhir negara ini menyerang beberapa pangkalan yang menampung pasukan Amerika di Irak.

Melansir laman CNBC, Rabu (8/1/2020), saham produsen senjata Victek di Korea Selatan melonjak hingga 26 persen di pagi hari. 

Demikian pula saham Hanil Forging Industrial melonjak lebih dari 21 persen. Kemudian Speco, yang membuat produk militer, melonjak 18 persen.

Di Jepang, saham Ishikawa Seisakusho, yang memproduksi ranjau darat, melonjak sekitar 24 persen. Tokyo Keiki, yang memproduksi sistem navigasi untuk penggunaan militer, naik lebih dari 13 persen.

Tercatat pula, saham Howa Machinery, yang memasok senapan dan mortir, naik sekitar 16 persen.

Di China, saham perusahaan terkait militernya ikut naik hingga 10 persen. Mulai dari Nhui Great Wall Military Industry, Linzhou Heavy Machinery Group, Tianjin Motor Dies and Aerospace CH UAV.

Kondisi ini juga membuat pasar global jatuh. Sementara harga emas dan minyak justru melonjak, setelah melemah di awal pekan ini.

Konflik Iran-AS memanas kembalil usai pembunuhan terhadap Komandan Militer Iran, Qasem Soleimani, pekan lalu oleh Amerika di Irak.

Iran kemudian menyerang pangkalan militer Amerika Serikat (AS) dengan lusinan rudal balistik. Target penyerangan adalah pangkalan udara Al Asad dan Erbil yang berlokasi di Irak.

Menurut CBS, tak ada korban jiwa dari pihak militer AS. Justru korban tewas dari pihak Irak. 

Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) atau Korps Pengawal Revolusi Islam Iran mengaku bertanggung jawab atas serangan ini. Penyerangan terjadi beberapa hari setelah kematian Jenderal Qasem Soleimani yang berpengaruh di Iran. 

"Para prajurit di unit aerospace IGRC telah melancarkan serangan sukses dengan puluhan rudal balistik ke pangkalan militer Al Asad atas nama martir Jendereal Qasem Soleimani," ungkap IGRC. 

Sebelum diserang Iran, pangkalan militer Al Asad pernah dikunjungi Presiden Donald Trump dan istrinya Melania pada 2018. Keduanya datang sebagai kejutan Natal bagi prajurit AS di Irak.

Saksikan video di bawah ini:

Rupiah Tertekan Dibayangi Memanasnya Konflik AS-Iran

Rupiah Melemah Tipis, Dolar AS Apresiasi ke Rp 13.775/US$
Sejumlah uang kertas rupiah ditunjukkan petugas di Bank BUMN, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemag pada perdagangan Rabu ini. Melemah rupiah seiring dengan memanasnya konflik antara Iran dengan AS usai Iran melakukan serangan balasan terhadap Negeri Paman Sam.

Mengutip Bloomberg, Rabu (8/1/2019), rupiah dibuka di angka 13.915 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.878 per dolar AS. Menjelang siang, rupiah terus melemah ke 13.930 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.915 per dolar AS hingga 13.937 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 0,46 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.934 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.919 per dolar AS.

 

 
 

 

Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, Serangan balasan tersebut bisa memicu aksi saling membalas dan bisa berujung ke perang di Timur Tengah.

"Sentimen hindar resiko akan membayangi perdagangan di pasar keuangan hari ini termasuk rupiah. Rupiah bisa melemah dalam hari ini, mungkin bisa ke atas 14.000," ujar Ariston dikutip dari Antara.

Selain itu, lanjut Ariston, harga minyak mentah yang turut naik juga bisa membebani rupiah karena defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia bisa memburuk

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya