Kebijakan Kawasan Hutan Hambat Reforma Agraria

Kebijakan kawasan hutan dinilai kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas lahan.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jan 2020, 08:30 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2020, 08:30 WIB
Ilustrasi hutan
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Reforma agraria yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih banyak menghadapi hambatan. Salah satunya adalah kebijakan kawasan hutan yang justru kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas lahan.

“Kebijakan kawasan hutan masih bertahan dengan wajah lama dengan menguasai dua pertiga daratan sebagai kawasan hutan dan hanya mengalokasikan sepertinya sebagai areal penggunaan lain,” kata Pengamat Kehutanan Sudarsono Soedomo di Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Sudarsono menilai klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Jika kebijakan itu terus dipertahankan, Indonesia tidak mandiri secara pangan.

 

“Dengan penduduk 260 juta dan hanya mengandalkan sepertiga kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat berbahaya. Indonesia tidak akan pernah mencapai swasembada pangan terus tergantung pada impor pangan,” kata Sudarsono.

Di sisi lain, kata Sudarsono, penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

"Terbukti, label hutan sejahterakan masyarakat, selama ini hanya menjadi jargon. Sebab, sebagian besar desa yang berada di kawasan hutan tetap miskin," ungkap dia.

Sebaliknya dari sisi kontribusi terhadap PDB (produk domestik bruto), non kawasan hutan yang luasnya hanya 35 persen justru berkontribusi 99 persen lebih, sedangkan kawasan hutan hanya berkontribusi kurang dari 1 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ikuti Ketentuan Tata Ruang

Tempat Wisata di Rembang
Ilustrasi Hutan Mangrove / Sumber: Pixabay

Sudarsono menyarankan agar kategori penggunaan tanah sebaiknya mengikuti ketentuan tata ruang yang terbagi dalam kawasan budidaya dan kawasan lindung. Ini untuk mengurangi praktik negara dalam negara dan memberi kepastian bagi masyarakat. Seharusnya, hutan konservasi dan hutan lindung tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung dan tidak diganggu.

“Sebaliknya, istilah kawasan hutan produksi dihapuskan dan masukkan tanahnya sebagai bagian dari kawasan budidaya agar dapat digunakan sesuai manfaat terbaiknya," ungkap dia.

Sudarsono berpendapat klaim kawasan hutan selama ini telah menciptakan piranti diskriminasi yang menghasilkan ketimpangan.

“Akibatnya, masyarakat sulit melakukan proses produksi yang effisien yang berkelanjutan karena khawatir dengan klaim kawasan hutan tersebut," lanjut dia.

Karena itu, kata Sudarsono, penataan regulasi terkait reforma agraria dengan upaya mengubah perombakan dan pembangunan struktur sosial masyarakat melalui penataan kembali struktur agraria menjadi sangat penting untuk dikedepankan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya