Penetapan Upah Minimum Ada di Gubernur, Tergantung Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Formulasi penetapan upah dilakukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Feb 2020, 16:00 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2020, 16:00 WIB
Airlangga Hartarto
Ketua Umum Partai Golkar yang juga mantan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memberikan keterangan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2019). Menurut rencana, Presiden Jokowi akan memperkenalkan jajaran kabinet barunya kepada publik hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa skema upah minimum bulanan akan diatur dan ditetapkan oleh gubernur daerah masing-masing. Penetapan itu tertuang dalam Rancangan Undang Undang Cipta Kerja yang sudah disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Formulasi penetapan upah dilakukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Diharapkan dengan begitu daya beli masyarakat di daerah akan terjaga.

"Salah satu terkait tenaga kerja perlu diketahui gubernur, bupati, walikota pengupahan minimum ini gubernur yang menetapkan upah minimun setiap tahunnya ini perlu diperhatikan," kata dia di Jakarta, Kamis (20/2/2020).

Airlangga menyebut formulasi penetapan ini dilakukan bagi daerah yang ekonominya mengalami pertumbuhan negatif, namun basis perhitungannya tetap menggunakan yang lama. Sehingga para tenaga kerja tetap memiliki daya beli saat ekonomi sedang lesu.

"Di sini basisnya formulasi pertumbuhan ekonomi di daerah, apabila pertumbuhan negatif maka yang digunakan upah minimum formulasi sebelumnya, itu sebagai pertumbuhan batasan gaji, sehingga tidak ada kenaikan upah turun," kata dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Omnibus Law Bakal Hapus Upah Minimum dan Pesangon Buruh?

Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana pemerintah mendorong investasi dan meningkatkan lapangan kerja melalui penyusunan Omnibus Law di sektor ketenagakerjaan. 

Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, Omnibus Law bukan cara yang tepat untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, Omnibus Law dikhawatirkan akan semakin menekan tingkat kesejahteraan para pekerja.

Berdasarkan pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, Said Iqbal mencatat setidaknya ada lima hal mendasar yang disasar Omnibus Law.

Pertama, Menghilangkan Upah Minimum

Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. 

Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan, maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Iqbal.

Namun demikian, menurut dia, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.

Di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.

Kedua, Menghilangkan Pesangon

Pemerintah Serahkan Draft RUU Omnibus Law
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, Menkumham Yasonna Laoly, Menteri KLHK Siti Nurbaya, Menaker Ida Fauziyah dan Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menyerahkan draft RUU Omnibus Law kepada Ketua DPR Puan Maharani, Jakarta, Rabu (12/2/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam Omnibus Law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.

Terkait hal ini, Said Iqbal mengatakan, bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003 sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 16 bulan upah.

Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.

"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 36 bulan upah lebih," ujarnya. 

Ketiga, Penggunaan Tenaga Alih Daya Diperluas

Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada lima jenis pekerjaan, tampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di-PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan," kata Said Iqbal.

Keempat, Lapangan Pekerjaan yang Teredia Berpotensi Diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill

Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskill workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlain khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal.

Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3-5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tadi.

Namun sayangnya, kata Iqbal, dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia.

Kelima, Jaminan Sosial Terancam Hilang

Tolak Omnibus Law, Buruh Datangi Gedung DPR
Poster bertuliskan tuntutan terlihat saat buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) berdemonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/1/2020). Massa menyuarakan penolakan mereka terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.con/Johan Tallo)

"Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun," demikian Iqbal menjelaskan.

Menurut dia, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana kita pahami, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.

"Mencermati wacana Omnibus Law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalaham pekerja, tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya