DPR Cecar Dirut MIND ID Soal Utang yang Bakal Jatuh Tempo

Komisi VII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan holding tambang BUMN MIND ID pada Selasa siang ini.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 30 Jun 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2020, 17:00 WIB
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Foto: Liputan6.com/Ilyas Istianur P
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Foto: Liputan6.com/Ilyas Istianur P

Liputan6.com, Jakarta - Komisi VII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan holding tambang BUMN MIND ID pada Selasa siang ini. Ada beberapa agenda dalam RDP ini meliputi kinerja BUMN tambang di masa pandemi Covid-19, kontribusi BUMN tambang di masa pandemi Covid-19 dan proyeksi pendapatan pemerintah sebelum dan sesudah akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.

Dalam rapat ini, anggota komisi VII DPR menyoroti masalah pendanaan Freeport. Selama ini DPR belum mendapat kejelasan mengenai pendanaan untuk proyek MIND ID, termasuk akuisisi saham Freeport hingga pembangunan smelter.

Direktur Utama Holding Pertambangan MIND ID Orias Petrus Moedak pun menjawab pertanyaan dari Anggota Komisi VII DPR RI tersebut.

"Jadi waktu membeli Freeport itu memang harganya waktu itu USD 3,85 miliar, dan kami melakukan pinjaman penerbitan obligasi, waktu itu USD 4 miliar dengan bunga rata-rata sekitar 6 persen, atau kita harus membayar bunga kurang lebih USD 240-250 juta tiap tahun, dan utang kami itu ada yang tempo 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan 30 tahun," beber Orias, Selasa (30/6/2020).

Melihat situasi akibat Covid-19 ini, Orias memperkirakan apabila operasional MIND ID tidak juga membaik dan tidak bisa membayar utang dengan jatuh tempo yang paling dekat, yakni 2021 dan 2023, maka diperlukan skema pendanaan baru.

"Untuk yang 3 tahun dan 5 tahun, kami melihat covid-19 ini kami memperkirakan apabila ini berdampak negatif pada operasi kami, akan kesulitan bagi kami untuk mencari pendanaan untuk yang USD 1 miliar yang jatuh tempo tahun depan," kata Orias.

"Jadi kami sejujurnya masuk ke pasar kemarin untuk melakukan refinancing untuk yang jatuh tempo 2 tahun ini dalam 2021 dan 2023. Jadi kami menerbitkan pinjaman USD 2,5 miliar dan kami refinancing yang akan jatuh tempo di dalam 2021 dan 2023, jadi setengahnya kami bayar. Jadi USD 1 miliar kami pakai untuk membayar setengah dari utang di 2021 kemudian USD 500 juta lagi hitang 2023," urainya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tidak Masuk Akal

Tambang Grasberg PT Freeport Indonesia. Foto: Liputan6.com/Ilyas Istianur P
Tambang Grasberg PT Freeport Indonesia. Foto: Liputan6.com/Ilyas Istianur P

Menanggapi rencana ini, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Demokrat, Muhammad Natsir menilai tidak masuk akal. Pasalnya, rencana ini akan membutuhkan sokongan dana atau utang baru untuk membayar utang yang lama, yang akan habis jatuh temponya. Sehingga, menurut Natsir, perlu dibentuk pansus untuk mengurai pendanaan Freeport.

"Saya sarankan soal Freeport dan pembelian saham maupun penambahan utang itu buat pansus saja. Kalau nggak, ini (negara bisa) tergadai nanti," kata dia.

Natsir menilai, langkah untuk membayar utang lama dengan mencari utang baru adalah hal yang keliru dan tidak akan ada habisnya. Apalagi manajemen Freeport menjelaskan bahwa hingga 2021, Freeport memang belum bisa mendapat pemasukan. Sehingga kemungkinan menambah utang semakin besar.

"Utang bayar Utang, untuk apa kita beli saham kalau kita bayar utang lagi. Kan udah ribet ini jadinya. Bayar bunga, belum pokok. Lalu, kalau produksi labanya tidak mencukupi, dari mana untuk membayar," ujar Natsir.

 

Salah Satu Opsi

Menjawab Natsir, Orias mengaku jika memang harus berhutang, maka itu akan dilakukan, karena bagaimanapun juga hutang merupakan salah satu opsi.

"Kalau harus berutang lagi dan ada yang memberikan utang, itu termasuk salah satu opsi," jawab Orias.

"Oh kalau peminjam, dipinjamkan terus ini barang," sahut Natsir.

"Hutang (buat) bayar utang ini, pinjam uang untuk bayar utang, hasil untungnya buat bayar utang," pungkas Natsir.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya