Penanganan Covid-19 Dinilai Lebih Penting dari Pembentukan Dewan Moneter

Pengamat mengkritisi rencana pembentukan Dewan Moneter di tengah pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Sep 2020, 20:30 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2020, 20:30 WIB
Ruang Isolasi Pasien Corona di Aceh
Petugas medis dengan pakaian pelindung menyiapkan ruang isolasi di sebuah rumah sakit di Banda Aceh, Selasa (3/3/2020). Di Aceh, dua rumah sakit menjadi rujukan pasien virus Corona, yakni Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh dan RSUD Cut Meutia, Aceh Utara. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong, mengkritisi rencana pembentukan Dewan Moneter di tengah pandemi Covid-19. Sebab, persoalan penting dihadapi saat ini fokus memerangi pandemi yang kian meningkat esklasasinya di sejumlah daerah.

"Ini inisiatif yang ngga perlu. Dari dulu saya kira tidak perlu adanya Dewan Moneter. Justru fokusnya adalah upaya penanganan pandemi Covid-19 yang kian meningkat di sejumlah daerah," tegas dia saat dihubungi Merdeka.com, Sabtu (5/9).

Lukman mengatakan, Covid-19 justru sebagai akar masalah penyebab perlambatan ekonomi Indonesia termasuk dunia. Mengingat dampak dari pandemi mematikan ini mampu menghentikan aktivitas produksi dan sejumlah kegiatan ekonomi penting lainnya, termasuk pariwisata.

"Saya kira selama pandemi ini belum bisa diatasi. Berbagai program untuk pemulihan ekonomi nasional akan tidak optimal manfaatnya," imbuh dia.

Untuk itu, dia meminta Pemerintah untuklebih tegas dalam menolak usulan pembentukan lembaga anyar ini yang tengah disusun di Badan Legislasi (DPR RI). Imbasnya energi Pemerintah dapat difokuskan pada upaya memerangi pandemi yang telah mengakibatkan beban hidup masyarakat kian sulit.

Pun, Lukman menyebut Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral selama ini masih mampu menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik. Sehingga kehadiran Dewan Moneter dianggap tidak perlu.

"Jadi, saya kira Pemerintah untuk juga mau bersikap tegas (menolak) rencana pembentukan ini (Dewan Moneter). Lebih baik fokus ke Covid-19. Selama ini pengawasan oleh BI juga masih baik saya kira. Maka, ini lembaga (Dewan Moneter) tidak perlu," tukasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa revisi Undang-Undang tentang Bank Indonesia merupakan inisiatif DPR. Dia menegaskan, hingga kini pemerintah belum membahas amandemen tersebut.

"Mengenai revisi UU tentang Bank Indonesia yang merupakan inisiatif DPR, Pemerintah belum membahas hingga saat ini," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers online, Jakarta, Jumat (4/9).

Sri Mulyani mengatakan, penjelasan Presiden dalam hal posisi pemerintah, sudah jelas bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif, dan independent. Bank Indonesia dan Pemerintah bersama-sama menjaga stabilitas dan kepercayaan ekonomi.

"Hal ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat demi kemakmuran dan keadilan yang berkesinambungan. Pemerintah berpandangan bahwa penataan dan penguatan sistem keuangan harus mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola (governance) yang baik, pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga secara jelas, serta mekanisme check and balances yang memadai," jelasnya.

Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah menegaskan komitmen pengelolaan kebijakan fiskal yang prudent, yang terlihat dalam penyusunan RAPBN tahun 2021 dan tetap dilanjutkan dalam rangka pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19.

"Sehubungan dengan kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit APBN, strategi pembiayaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang disusun berlandaskan pada prinsip untuk tetap menjaga posisi BI selaku otoritas moneter serta Kementerian Keuangan selaku otoritas fiskal," paparnya.   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Indef: Dewan Moneter Bahayakan Sistem Keuangan Indonesia

Cek Jadwal Kegiatan Operasional dan Layanan Publik BI Selama Mitigasi COVID-19
Ilustrasi Bank Indonesia.

Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Salah satu poin dalam RUU tersebut adalah adanya Dewan Moneter.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini menilai, Perppu reformasi keuangan yang tengah disusun Baleg ini akan membahayakan stabilitas sistem moneter dan keuangan Indonesia. Karena akan memangkas independensi BI selaku bank sentral.

"Perppu ini akan membahayakan sistem moneter dan keuangan kita. Karena akan mendegradasi independensi BI," ucap dia dalam webinar bertajuk Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Rabu (2/9/2020).

Didik mengatakan jika independensi BI terdegradasi, justru akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi sektor pasar keuangan dalam negeri. Sebab kepercayaan pelaku pasar keuangan akan ikut tergerus seiring melemahnya fungsi pengawasan oleh bank sentral.

"Padahal selama ini BI sudah mampu menjaga kepercayaan pasar keuangan kita. Seperti menjunjung tinggi semangat independensinya," imbuh dia.

Terlebih, dalam Perppu ini pemerintah bersama DPR juga berencana untuk membentuk lembaga baru yakni Dewan Moneter. Dimana lembaga anyar ini terdiri dari 5 anggota yaitu menteri keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, dan Deputi Gubernur Senior BI serta Ketua Dewan Komisioner dari OJK.

Didik menilai, keterlibatan perwakilan pemerintah dalam lembaga anyar ini juga berpotensi mengembalikan fungsi pengawasan bank sentral di era Orde Baru. Dengan menteri sebagai perwakilan pemerintah memiliki hak voting di RDG, tentu berdampak pada independensi BI.

"Artinya akan kembali ke era Orde Baru. Dewan Moneter akan sebagai kekuasan liar, menjadikan BI diposisikan sebagai subordinat dari pemerintahan," tutupnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Ada Usulan Dewan Moneter dalam RUU BI, Ketuanya Menteri Keuangan

FOTO: Sri Mulyani Bahas Program PEN Bersama Komisi XI DPR
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2020). Sri Mulyani memastikan pencairan bantuan Rp 600 ribu bagi para pekerja yang memiliki gaji di bawah Rp 5 juta akan dimulai pekan ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggelar rapat pada Senin ini untuk membahas Revisi Undang-Undang Bank Indonesia.

Dalam rapat hari ini dikemukakan adanya fungsi baru yaitu Dewan Moneter yang bertugas untuk membantu pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.

Dikutip dari bahan Rapat Badan Legislasi Senin (31/8/2020), Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian.

Dewan Moneter terdiri dari 5 anggota, yaitu Menteri Keuangan dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan dan bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai dengan kebutuhan yang mendesak.

Anggota Badan Legislasi Achmad Baidowi menjelaskan, dalam rapat hari ini bukan membahas draf tetapi baru membahas poin gagasan tim ahli yang dipresentasikan.

"Rapatnya terbuka. Gagasan tersebut belum menjadi pendapat Baleg," jelas dia, Senin (31/8/2020).

"Media banyak mengutip presentasi yang disampaikan tim ahli dalam rapat terbuka. Tapi itu bukan sikap baleg, hanya pengantar diskusi," tambah dia.

Menanggapi adanya Dewan Moneter tersebut, Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, OJK belum bisa memberikan tanggapan.

Anto menjelaskan, adanya Dewan Moneter merupakan usulan tenaga ahli dari rapat Baleg. Mereka pun diminta melengkapi dengan Naskah Akademis dan Baleg akan membentuk Panitia Kerja (Panja) yang melibatkan ahli yang kompeten untuk bisa menjawab tantangan bank sentral ke depan.

"Demikian pula halnya dengan isu pengawasan bank, karena OJK dibentuk oleh DPR yg mengedepankan pengawasan terintegrasi sehingga dapat memitigasi transaksi dan produk hybrid yang menjadi tantangan ke depan," kata dia.

OJK juga meminta pengawas untuk tetap fokus dalam tugasnya mengatasi dampak covid-19 terhadap sektor keuangan yang saat ini masih terjaga baik karena koordinasi yang kuat antara OJK, BI dan LPS.

Sementara otoritas fiskal sekarang juga sedang bekerja keras mengelola utang yang membesar dan meningkatkan penerimaan pajak.

Tidak lain kolaborasi dan sinergi ini untuk mencapai pertumbuhan yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomuan di akhir tahun bisa mencapai kisaran 0 persen sampai 0,25 persen. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya