Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai katalog elektronik (e-Katalog) yang dijalankan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) membuat para pelaku UMKM, khususnya di daerah kesulitan bersaing dalam menawarkan produk barang dan jasanya kepada pemerintah.
Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Taufik Ahmad mengatakan, hal itu disebabkan oleh adanya persaingan yang tidak seimbang antar pelaku usaha dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di e-Katalog.
Baca Juga
"Berdasarkan kajian KPPU terhadap e-Katalog, utamanya terkait partisipasi pelaku usaha dalam hal keikusertaan pengadaan barang Pemerintah melalui e-Katalog, ditemukan beberapa hal yang perlu dilakukan perbaikan demi semakin terwujudnya persaingan usaha yang sehat bagi semua pelaku usaha, khususnya pelaku usaha kecil dan menengah (UKM)," tuturnya dalam sesi webinar, Sabtu (12/9/2020).
Advertisement
Oleh karenanya, KPPU disebutnya coba mendorong LKPP untuk segera menanggapi saran pertimbangan terkait kegiatan di e-Katalog.
Seperti melakukan peninjauan pada Pasal 13 huruf (f) Peraturan LKPP Nomor 11 Taun 2018. Taufik menyatakan, aturan tersebut menjadi penghambat akses bagi pelaku UMKM.
"Perspektif persaingan usaha, persyaratan tersebut menjadi faktor yang menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar (entry barrier), yakni pelaku usaha kecil dan menengah yang tersebar di berbagai daerah," ujar dia.
Pasar Dalam Negeri Masih Potensial, UMKM Tinggal Optimalkan Sederet Peluang
Peneliti sekaligus Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani mendorong UMKM untuk lebih mengoptimalkan peluang di pasar domestik. Sebab pasar domestik dinilai masih seksi untuk menyerap produk lokal karya anak bangsa.
"Kalau kita lihat peluang di pasar domestik itu sangat besar untuk menyerap produk lokal kita. Maka, UMKM kita perlu diarahkan ke pasar domestik," ujar dia dalam webinar yang digagas oleh Bappenas, Selasa (8/9).
Aviliani menyebut perkembangan gaya hidup digital menjadi bukti besarnya peluang yang belum dimanfaatkan oleh UMKM. Tercatat, akses teknologi informasi dan komunikasi sudah menjangkau lebih dari 90 persen populasi masyarakat Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) jumlah UMKM yang sudah memanfaatkan layanan digitalisasi baru mencapai 13 persen. "Artinya ini masih jauh, jumlah UMKM yang memanfaatkan digitalisasi untuk memperluas cakupan bisnis di dalam negeri," ujarnya.
Terlebih, sambung Aviliani, pada tahun 2030 nanti pemerintah melalui Kemenko Perekonomian memproyeksikan ada 135 juta penduduk Indonesia akan memiliki penghasilan bersih diatas USD 43.600 sebagai konsumen. Imbasnya tingkat konsumsi masyarakat diyakini akan terus melonjak hingga berkali lipat.
Kemudian, pada tahun yang sama pemerintah juga memprediksi jumlah usia penduduk produktif mencapai 60 persen, 27 persen diantaranya adalah penduduk muda dengan rentang usia 16-30 tahun. "Creative class ini akan juga melahirkan permintaan tinggi akan produk kreatif. Terutama produk yang berbasis media dan ICT (content industry)," tegasnya.
Untuk itu, pemerintah baik pusat ataupun daerah didorong perlu memberikan dana alokasi khusus bagi pelatihan pengembangan strategi bisnis UMKM di dalam negeri. Dengan menekankan pemanfaatan digitalisasi dan standarisasi produk berkualitas ekspor.
"Sehingga UMKM domestik mampu berdaya saing. Karena kualitas produk dalam negeri bisa terjamin" pungkasnya.
Advertisement