Ekonom Soroti Independensi Lembaga Keuangan dalam Draft RUU BI

Polemik Revisi Undang-Undang Bank Indonesia terus bergulir.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 01 Okt 2020, 17:30 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2020, 17:30 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia (2)
Ilustrasi Bank Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Polemik Revisi Undang-Undang Bank Indonesia terus bergulir. Sejumlah pengamat menyoroti terkait independensi Bank Indonesia kedepannya.

Dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ada rencana pengembalian fungsi pengawasan sektor jasa keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia, tepatnya di pasal 34.

Secara rinci, ketentuan Pasal 34 diubah menjadi, (1) Tugas mengawasi Bank yang selama ini dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dialihkan kepada Bank Indonesia. (2) Pengalihan tugas mengawasi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023. (3) Proses pengalihan kembali fungsi pengawasan bank dari OJK kepada BI dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada DPR.

Menanggapi itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi UNDIP, FX Sugiyanto mengatakan, Seharusnya kewenangan tersebut bukan ditarik kembali. Melainkan OJK diberikan penguatan yang lebih dari yang ada saat ini.

FX menilai, Jika selama ini OJK selama seolah-olah terlihat tidak independen, dimungkinkan karena pembiayaan lembaga ini berasal dari lembaga keuangan yang lain. “Apakah pada akhirnya nanti kewenangan pengawasan, itu dikembalikan kepada Bank Indonesia ataukah tetap pada OJK yang penting adalah sejauh mana OJK Seandainya Masih tetap akan ada seperti yang sekarang itu menjadi lebih independen,” kata dia dalam webinar INDEF, Kamis (01/10/2020).

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Senior INDEF Fadhil Hasan menuturkan hal serupa. Ia membeberkan lambatnya penanganan OJK terhadap permasalahan yang dialami perbankan. “Ini juga harus dilakukan perubahan atau penyederhanaan dari prosedur penanganan Bank dalam pengawasan OJK,” kata dia.

Menurut Fadhil, BI telah merespon wacana pengawasan ini dengan melakukan relaksasi agunan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek/Syariah (PLJPS/S) untuk mengantisipasi bank yang mengalami kesulitan likuiditas,” Ini saya kira apa yang menjadi wacana ya, itu kemudian sekarang juga sudah di direspon oleh BI dengan melakukan relaksasi itu. Karena itu merupakan persoalan yang dihadapi dalam penyelamatan perbankan dan lembaga keuangan,” kata dia.

Saya kira itu beberapa penguatan yang harusnya dilakukan oleh masing-masing lembaga Otoritas KEuangan baik BI OJk maupun LPS, dan juga penguatan daripada KSSK itu sebagai forum pengambil keputusan. Tapi di atas semuanya itu, kita juga harus tetap sekali lagi menjaga independensi BI ini sesuai dengan mandat yang diberikan oleh UU, dan tambahan mandat yang tercakup dalam RUU ini,” tutup dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ekonom Sebut RUU BI Cuma Copy-Paste Aturan Sebelumnya

Ilustrasi Bank Indonesia (3)
Ilustrasi Bank Indonesia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto menyampaikan tanggapannya terkait Rancangan Undang Undang Bank Indonesia (RUU BI).

Ia menilai, RUU ini tidak memiliki urgensi. Bahkan ia menyebut produk ini merupakan perpaduan antara Orde Lama dan orde Baru.

“Saya menilai bahwa ini kelihatan sekali Undang-Undang ini kalau misalkan draft versi yang kemarin, 17 September itu mungkin menjadi usulan dari DPR maka ya Bank Sentral kita kembali kepada era perpaduan antara orde lama dengan orde baru. Karena beberapa aspek sebetulnya hanya copy-paste dari UU yang tahun 53 dengan yang 68 ya sini hampir beberapa dimasukkan lagi jadi seolah-olah mau bernostalgia dengan situasi di era Orde Baru,” ujar dia dalam webinar INDEF, Kamis (1/10/2020).

Menurutnya, ada beberapa aspek yang janggal dengan diusulkannya dewan kebijakan ekonomi makro.

“Ini kelihatan sekali ya antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal hanya di beberapa bagian pasal-pasalnya itu menjadi cukup rancu begitu.

“Dan beberapa aspek yang menurut saya berarti ini yang berfungsi lebih ke dewan moneter. Dewan gubernurnya perannya menjadi tergerus lagi,” kata dia. Ia menambahkan, dengan keadan seperti itu, maka akan memunculkan pertanyaan di publik, utamanya dari pasar keuangan.

“Kalau misalkan versi ini yang dijadikan acuan, maka ya pasti akan jadi pertanyaan banyak orang, terutama dari pasar keuangan. Karena kan nanti sangat mungkin kebijakan itu agak susah untuk dikatakan bahwa kebijakan ini independen berdasarkan analisa dinamika ekonomi yang terjadi,” jelas Eko. Lebih lanjut, Eko menyarankan agar draft usulan RUU BI ini disebarluaskan agar dapat dikritik banyak pihak. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya