Industri Farmasi Diproyeksi Tumbuh Tinggi di Masa Pandemi

Industri farmasi termasuk ke dalam industri strategis yang masih boleh berjalan ketika aturan PSBB total diberlakukan.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Okt 2020, 15:21 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2020, 15:20 WIB
Dampak dari Mengonsumsi Obat-Obatan Tertentu
Ilustrasi Mengonsumsi Obat-Obatan Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Industri farmasi merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan Indonesia. Oleh karena itu, industri farmasi termasuk ke dalam industri strategis yang masih boleh berjalan ketika aturan PSBB total diberlakukan.

Dengan adanya pandemi, kebutuhan vitamin, suplemen dan obat herbal untuk meningkatkan kekebalan tubuh secara umum meningkat sehingga industri farmasi yang bermain di sektor tersebut memperoleh pertumbuhan yang cukup besar.

Ketua Program Studi Sarjana Farmasi Indonesia International Institute for Life Science (I3L) Leonny Yulita Hartiadi menjelaskan dengan adanya pandemi kmenyebabkan turunnya kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan karena adanya kekhawatiran pasien akan terinfeksi COVID-19 ketika berkunjung ke fasilitas kesehatan.

Masyarakat lebih memilih untuk melakukan konsultasi secara daring (online), lalu obat-obatan dikirim ke tempat tinggal lewat apotek. Bahkan ada juga masyarakat yang memilih untuk menunda penanganan penyakit mereka. Selain itu, layanan dokter gigi juga sempat tidak diperbolehkan untuk membuka praktek sebagai usaha untuk mencegah penularan COVID-19.

“Hal ini telah membuat permintaan obat-obatan dari rumah sakit berkurang secara signifikan hingga 50-60 persen yang selanjutnya juga berdampak terhadap menurunnya kapasitas dan utilitas produksi. Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia memprediksikan bahwa ada 2.000-3.000 karyawan yang dirumahkan sebagai dampak dari menurunnya kapasitas dan utilitas produksi di Industri Farmasi” ungkap Leonny dalam keterangan resminya, Rabu (28/10/2020).

Selain itu, tidak lama setelah COVID-19 diumumkan sebagai pandemi, impor bahan baku obat yang bertumpu pada supplier asal Cina dan India membuat pasokan bahan baku obat nasioanal menjadi terhambat karena adanya lockdown. Di sisi lain, adanya pandemi juga telah berdampak positif bagi industri farmasi. Untuk menghadapi kesulitan di industri, pemerintah memberikan insentif pajak dan subsidi untuk memicu pertumbuhan industri, termasuk industri farmasi.

Adanya insentif pajak barang dan jasa yang dipergunakan untuk penanganan pandemi dari Kementerian Perekonomian melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK.03/2020 yang ditetapkan pada 1 Oktober 2020 menyatakan bahwa insentif pajak yang diberikan diantaranya adalah pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh pasal 22 impor, pengurangan angsuran PPh pasal 25, serta percepatan pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN).

Dengan demikian, adanya pandemi memberikan dampak negatif dan juga dampak positif bagi Industri Farmasi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

TKDN Produk Farmasi

Mengonsumsi Obat Tertentu
Ilustrasi Obat-Obatan Credit: pexels.com/pixabay

Menganggapi mengenai bahan baku produksi dan kontribusi bahan baku obat-obatan, Leonny menyatakan bahwa pemerintah telah mendukung kemandirian bahan baku obat sebagaimana yang diinstruksikan melalui Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 6 Tahun 2016 mengenai Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 yang mengatur mengenai Ketentuan dan Tata cara Penghitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi beberapa bulan yang lalu untuk mendorong peningkatan daya saing dan kemandirian industri Farmasi, terutama produksi bahan baku obat.

Walaupun jumlah industri bahan baku obat masih sangat terbatas, yaitu kurang dari 10 perusahaan, Kemenperin memproyeksikan bahwa tahun ini ketergantungan impor bahan baku obat akan berkurang sebesar 2,72% berdasarkan produksi bahan baku obat seperti simvastatin (4,2 metrik ton), clopidogrel (7,6 metrik ton), atorvastatin (0,7 metrik ton), dan entecavir (371 gram) yang diproduksi oleh PT Kimia Farma Sungwoon Pharmacopia.

PT Kimia Farma Tbk saat ini juga menjalin kerjasama dengan PT Pertamina untuk pengenbangan bahan baku parasetamol. Tentunya volume produksi bahan baku obat akan meningkat tiap tahunnya dimana dalam empat tahun kedepan, Kemenperin memprediksikan bahwa impor bahan baku obat akan berkurang sebesar 20,52 persen. Kedepannya, akan ada industri bahan baku obat di wilayah Batam yang tentunya akan berkontribusi terhadap produksi bahan baku obat di dalam negeri.

“Indonesia juga telah menunjukkan kemandirian dalam pengadaan vaksin COVID-19 dimana pemerintah menunjuk PT Biofarma untuk pengadaan vaksin virus corona. PT. Biofarma saat ini sedang mempersiapkan fasilitas produksi vaksin dengan kapasitas produksi maksimal sebanyak 250 juta dosis. Lembaga Biomolekuler Eijkman saat ini juga tengah mengembangkan vaksin dengan teknologi rekombinan yang diberi nama vaksin Merah Putih” jelas leonny.

Leonny mengungkapkan bahwa industri farmasi memiliki kontribusi positif untuk pertumbahan perkonomian Indonesia saat ini. Di saat keadaan ekonomi yang melambat akibat pandemi, sektor farmasi, obat tradisional dan industri kimia mengalami pertumbuhan sebesar 5,59 persen pada kuartal pertama tahun 2020 sebagaimana yang terpantau oleh Kemenperin. Perumbuhan positif juga tercermin dari kenaikan laba yang berhasil diraih beberapa perusahaan Farmasi.

Bahkan, industri kimia dan farmasi berhasil menarik nilai investasi sebesar Rp 9,83 triliun pada kuartal pertama tahun 2020.

 

Alami Permintaan Tinggi

Ilustrasi obat batuk | pexels.com
Ilustrasi obat batuk | pexels.com

Sektor industri farmasi dan alat kesehatan masuk dalam kategori yang mengalami permintaan tinggi (high demand) ketika pandemi di saat sektor lain mengalami dampak yang berat. Kemenperin mencatat, pada triwulan I tahun 2020, industri kimia, farmasi dan obat tradisional tumbuh positif sebesar 5,59 persen.

Di samping itu, industri kimia dan farmasi juga menjadi sektor manufaktur yangmenyetor nilai investasi cukup signifikan pada kuartal I-2020, dengan mencapai Rp 9,83 triliun.Untuk proyeksi farmasi industri, Leonny mengungkapkan industri farmasi tentunya sudah dapat beradaptasi dengan situasi pandemi.

Kesulitan yang dihadapi ketika awal pandemi seperti penurunan permintaaan obat-obatan dari fasilitas kesehatan dan kesulitan mendapat suplai bahan baku yang diimpor dari luar sudah seharusnya tertangani. Industri farmasi juga dapat mendiversifikasikan produk mereka dengan menghasilkan produk yang penjualannya naik di saat pandemi seperti vitamin, suplemen peningkat kekebalan tubuh, hand sanitizer dan lain sebagainya.

“Untuk suplai bahan baku obat, industri farmasi perlu mancari sumber alternatif bahan baku dari negeri lain. Industri farmasi juga perlu mengubah strategi pemasaran dengan mengoptimalisasi penggunaan teknologi informasi atau digitalisasi, terutama untuk produk obat bebas dan obat bebas terbatas. Adanya relaksasi pajak dan subsidi bagi pelaku usaha telah memberikan angin segar bagi industri farmasi” ucap Leonny.

Aturan PSBB yang sudah dilonggarkan kembali dan layanan dokter gigi yang sudah kembali praktik diharapkan mampu menstimulasi pertumbuhan di sektor yang tidak terkait penanganan pandemi.

“Oleh sebab itu, saya optimis industri farmasi akan tumbuh secara positif,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya