Liputan6.com, Jakarta - "Indonesia in recession for first time in 22 years." Artinya, "Indonesia telah jatuh ke dalam resesi pertamanya dalam 22 tahun," tulis artikel yang berasal dari media asing, BBC asal Inggris.
Ya, pandemi Covid-19 akhirnya membuat Indonesia menyerah, harus kembali masuk ke jurang resesi ekonomi usai 22 tahun. Dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif.
Baca Juga
Kepastian Indonesia resesi ini secara resmi disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III 2020 terkontraksi hingga minus 3,49 persen, usai pada kuartal II-2020 minus 5,32 persen.
Advertisement
Laporan inilah yang menandai jika resesi ekonomi mendatangi Indonesia. Seperti banyak negara lain di dunia.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi selama Januari-September tercatat mengalami kontraksi sebesar 2,03 persen dibandingkan semester I tahun lalu.
"Kalau kita bandingkan dengan posisi triwulan (kuartal) ke III tahun 2019 ekonomi Indonesia pada triwulan II pada yoy masih kontraksi sebesar 3,49 persen. Tetapi kalau kita bandingkan dengan triwulan ke II 2020 ekonomi kita positif 5,05 persen. Sementara secara kumulatif kontraksi 2,03 persen," kata dia di Kantornya, 5 November 2020 lalu.
Meskipun ekonomi terkontraksi sebesar 3,49 persen di kuartal III-2020, Suhariyanto mengatakan, kontraksinya tidak sedalam kuartal ke II-2020 yang sebesar minus 5,32 persen. Artinya terjadi perbaikan.
Sinyal Indonesia resesi sejatinya sudah didengungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebelum BPS merilis resmi laporannya. Meski dalam penuturan Jokowi masih memberikan keyakinan ekonomi Indonesia membaik.
“Jadi kuartal III mungkin minus tiga persen lebih sedikit, dan itu adalah trennya membaik, tren positif, ini yang harus ditekankan dari pengumuman BPS, dari 5,32 persen (kuartal II) menjadi minus 3 sekian persen,” kata Jokowi saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Senin (2/11/2020).
Jokowi mengaku telah meminta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk menjaga laju investasi kuartal III 2020 agar tak minus di bawah 5 persen. Namun, hal tersebut belum terealisasi.
Sudah Diprediksi
Masuknya Indonesia ke dalam jurang resesi sebenarnya juga telah diprediksi jauh sebelumnya. Pada September 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 mencapai minus 2,9 hingga minus 1,0 persen.
Beberapa ekonom juga memprediksi hal sama. Umumnya, mereka menilai status resesi ini tak akan banyak membawa pengaruh kepada Indonesia. Pasalnya, krisis sudah dirasakan selama sekitar 8 bulan pandemi Covid-19 berlangsung.
“Pertumbuhan ekonomi kuartal III saya perkirakan kembali minus di kisaran 3 persen. Tetap minus, tetapi lebih baik dibandingkan kuartal II,” kata Ekonom Senior Piter Abdullah.
Sementara, Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, pertumbuhan ekonomi kuartal III- 2020 terkontraksi di kisaran minus 3,13 persen.
Josua merincikan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan terkontraksi ke kisaran minus 3,54 persen yoy dari kuartal sebelumnya minus 5,51 persen yoy.
“Meskipun konsumsi masih terkontraksi pada kuartal III-2020, namun tidak sedalam kontraksi pada kuartal II-2020. Hal ini dipengaruhi kebijakan PSBB transisi di berbagai daerah di Indonesia yang mendorong peningkatan pada pergerakan masyarakat, meskipun situasinya belum kembali ke level normal,” kata dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 di angka minus 1,5 hingga minus 3 persen. Angka ini terbilang lebih kecil dibandingkan kuartal II.
Pertumbuhan ekonomi minus kembali, lantaran kelas menengah dan atas masih melanjutkan untuk menahan belanja dan mengalihkan uang ke simpanan di perbankan.
Situasi ini terjadi karena kasus harian Covid masih berada di atas 3.000-4.000 kasus sepanjang kuartal III 2020.
“Rem darurat yang ditarik oleh Pemda DKI Jakarta dengan lakukan pengetatan PSBB menurunkan gairah belanja dari konsumen,” kata Bhima.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Faktor Pemicu Resesi Ekonomi
Kepala BPS, Suhariyanto mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya resesi berdasarkan data.
Secara umum faktor PDB pada kuartal III memang tidak berubah, di mana 64,13 persen PDB kita berasal dari 5 sektor yakni industri, pertanian, perdagangan, kontruksi, dan pertambangan.
Sementara, dari 17 lapangan usaha yang ada, 7 sektor masih tumbuh positif meskipun masih mengalami perlambatan. Ketujuhnya adalah pertanian, infokom, administrasi, pemerintahan, jasa pendidikan, real estate, jasa kesehatan dan pengadaan air.
Adapun sektor yang paling tinggi tumbuhnya adalah jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Di mana, pada kuartal III ini tumbuh sebesar 15,33 persen.
Kemudian sektor yang juga tumbuh tinggi yang menempati posisi kedua adalah informasi dan komunikasi yang tumbuh 10,61 persen.
"Kemudian disusul oleh pengadaan air, pengelolaan sampah dan limbah masih tumbuh 6,04 persen," kata dia di Kantor BPS.
Dia melanjutkan, pada kuartal III ini 10 sektor mengalami kontraksi, tetapi tidak sedalam kontraksi yang terjadi pada kuartal III tahun lalu.
Misalnya saja untuk industri, pada kuartal kedua yang lalu minus 6,19 persen. Tetapi pada kuartal III industri ini tumbuh minus 4,31 persen.
Kemudian, untuk akomodasi makan dan minum masih ada kontraksi, tetapi kontraksinya hanya separuh dari kuartal II yang lalu. Di mana, pada kuartal II kemarin akomodasi makan dan minum mengalami kontraksi 22,0 persen, namun pada kuartal III ini kontraksi jauh lebih landai yaitu sebesar 11,85 persen.
"Jadi kembali tujuh sektor masih positif, 10 sektor masih mengalami kontraksi tetapi kontraksinya tidak sedalam kontraksi seperti pada triwulan ke-2 tahun 2020," jelas dia.
Sementara, jika melihat beberapa sektor yang mempunyai peran besar kepada resesi Indonesia, untuk industri pengolahan mengalami perbaikan.
Di mana industri pengolahan di kuartal II lalu mengalami kontraksi minus 6,9 persen, namun pada triwulan ketiga ini mengalami perbaikan yakni kontraksinya sebesar minus 4,31 persen.
Lantas, apa dampak dari resesi terhadap masyarakat secara langsung?
Peneliti Indef, Bhima Yudhistira mengungkapkan, dampak langsung yang akan terasa yaitu turunnya pendapatan kelompok masyarakat kalangan menengah dan bawah secara signifikan. Sehingga jumlah orang miskin baru akan bertambah.
"Turunnya pendapatan di kelompok masyarakat menengah dan bawah secara signifikan. (Sehingga) akan ada orang miskin baru," kata Bhima.
Akibat resesi ekonomi ini, desa akan jadi tempat migrasi pengangguran. Mereka datang dari kawasan industri karena gelombang PHK massal.
Angkatan kerja baru pun makin sulit bersaing. Sebab lowongan pekerjaan menurun. Sisi lain jika ada perusahaan mencari pekerja baru akan memprioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman.
"Perusahaan kalaupun lakukan recruitment akan prioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman," kata dia.
Dalam kondisi ini, masyarakat pun cenderung berhemat. Mereka akan menahan diri untuk membeli barang sekunder dan tersier.
Fokus masyarakat hanya pada barang kebutuhan pokok dan kesehatan. Lebih jauh, konflik sosial di masyarakat bisa meningkat karena ketimpangan semakin lebar.
"Orang kaya bisa tetap survive selain karena aset masih cukup juga karena digitalisasi," kata dia.
Sementara kelas menengah rentan miskin. Sebab tidak semua pekerjaan mereka dapat dilakukan di rumah. Di saat yang bersamaan pendapatan menurun.
Advertisement
Pengusaha Tak Kaget
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, para pengusaha tidak terlalu kaget dengan pernyataan Indonesia resesi ekonomi. Hal ini lantaran sesuai dengan prediksi sebelumnya.
“Ini bukan output yang mengagetkan karena sudah bisa kita prediksi sebelumnya, dan kami tetap positif bahwa di kuartal IV dan kedepannya akan lebih baik karena faktor-faktor ekonomi yang cukup mendukung,” kata Shinta kepada Liputan6.com.
Faktor pendukung tersebut diantaranya, adanya peningkatan produktivitas dalam jangka pendek. Ini misalnya dorongan normalisasi ekonomi yang lebih kuat dari berbagai partner dagang di Asia Pasifik, konsumsi akhir tahun, proyeksi peningkatan distribusi stimulus untuk korporasi.
Serta proyeksi pengendalian pandemi yang lebih positif. Itu karena temuan vaksin yang mendukung normalisasi ekonomi, dan sebagainya.
“Di kuartal IV ini kami harap pemerintah bisa bekerja lebih keras lagi untuk memacu normalisasi ekonomi dan peningkatan confidence, konsumsi masyarakat juga, menggenjot stimulus baik supply maupun demand,” jelasnya.
Shinta memperkirakan tekanan ekonomi masih berlanjut hingga tahun depan di hampir semua sektor.
“Untuk pelaku usaha, proyeksi tekanan ekonomi diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga sepanjang tahun depan di hampir semua sektor. Kami perkirakan sekitar 50 persen pelaku usaha dari berbagai sektor masih akan tertekan sepanjang tahun depan,” jelas dia.
Dia memperkirakan angka tersebut bisa lebih tinggi bila vaksin lebih lambat ditemukan atau didistribusikan. Perkembangan mengenai vaksin ini menjadi kunci perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya.
Begitupun dengan beberapa sektor seperti penerbangan, pariwisata, dan hotel diproyeksikan tekanannya masih akan terus berlangsung melebihi tahun depan. Menurut Shinta, tahun 2023 atau 2024 baru bisa normal kembali.
“Jadi, masih berat hingga sepanjang tahun depan dan untuk pulih hingga ke level sebelum pandemi perlu proses panjang. Kondisi kita sangat jauh berbeda dengan China yang bisa keluar dari krisis dalam 1 kuartal karena supporting factor-nya tidak sama,” jelasnya.
Oleh karena itu, perusahaan mengupayakan segala cara untuk bertahan dan memanfaatkan semua stimulus yang ditawarkan pemerintah sepanjang krisis ini. Perusahaan secara mandiri ikut mendukung pengendalian pandemi di tempat kerja.
Selain itu, pihaknya juga terus melakukan efisiensi-efisiensi, khususnya dengan memanfaatkan teknologi, dan menghindari PHK.
“Kami mendukung pemerintah Indonesia dalam upaya-upaya mendatangkan investor, memperlancar distribusi stimulus kepada pelaku usaha, follow up konkrit UU Ciptaker di lapangan, dan penciptaan breakthrough reformasi kebijakan ekonomi,” ungkapnya.
Strategi Pemerintah Lepas dari Resesi
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah telah menyiapkan berbagai skema untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi pada kuartal IV 2020 dan seterusnya. Rencana tersebut sudah diutarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani pasca BPS mengumumkan Indonesia resesi.
"Strateginya sama seperti dalam press statement oleh Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani)," kata Yustinus kepada Liputan6.com.
Sri Mulyani sebelumnya menyatakan, vaksin menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya. Proses vaksinasi akan meyakinkan masyarakat untuk kembali bergerak di luar rumah, sehingga perputaran konsumsi rumah tangga bakal kembali tumbuh.
"Pemberian vaksin diharapkan akan mampu mengembalikan tren konsumsi rumah tangga, terutama kelas menengah atas. Sehingga perbaikan diharapkan dan diyakini akan terjadi pda kuartal IV (2020) dan seterusnya," ujar Sri Mulyani.
Berbagai kebijakan baik dari sisi fiskal maupun dukungan pembiayaan juga terus digelontorkan untuk mendorong kegiatan sektoral dan di daerah. Hal tersebut dicantumkan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Demikian juga dengan kebijakan moneter, yang bersama-sama dengan kami melakukan upaya untuk pemulihan ekonomi nasional," sambung Sri Mulyani.
Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga stabilitas sektor keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi.
Berbagai kemudahan berusaha dan upaya di dalam program struktural akan dilakukan dalam rangka memperbaiki kinerja perekonomian, terutama di sektor riil dan jasa.
Bendahara Negara ini menyampaikan, pemerintah berupaya untuk terus memaksimalkan penyerapan belanja negara hingga akhir 2020. Adapun merujuk pada laporan BPS, angka belanja APBN 2020 hingga kuartal ketiga tercatat meningkat signifikan.
"Penyerapan belanja APBN 2020 terus akan diakselerasi seiring fenomena positif dari kegiatan ekonomi kita. Dalam hal ini program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk jaga daya beli masyarakat akan diteruskan," ungkapnya.
"Dengan demikian kuartal IV ini kita akan dorrong agar pelaksanaan belanja daerah dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional yang terus diakselerasi akan didorong untuk tingkatkan momentum pembalikan ekonomi di kuartal IV," tandasnya.
Meski resesi, Sri Mulyani mengklaim capaian pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 sudah cukup baik dibandingkan posisi kuartal sebelumnya.
Hal ini menunjukan bahwa proses pemulihan ekonomi dan pembalikan arah dari aktivitas ekonomi nasional saat ini sedang menuju ke arah positif.
"Hal ini lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya yang minus 5,32 persen. Seluruh komponen ekonomi baik dari sisi pengeluaran mengalami peningkatan maupun dari sisi produksi," kata dia,
Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (Satgas PEN), Budi Gunadi Sadikin, juga turut mencermati risiko terjadinya resesi.
Meski demikian, dia tetap meminta bantuan kepada pihak swasta untuk mau bergerak guna memulihkan perekonomian jika Indonesia benar-benar jatuh ke lubang resesi.
"Di mata kami memang setelah kita lihat struktur ekonomi Indonesia paling besar tetap kontribusinya ada di swasta. 70 persen lebih dari ekonomi Indonesia yang Rp 1.000 triliun ini merupakan kontribusi swasta. Sisanya 16 persen BUMN, sisanya lagi baru pemerintah," terangnya.
Secara porsi, pemerintah telah mengeluarkan banyak upaya melalui program PEN. Namun itu kontribusinya hanya sekitar 16-17 persen saja dari kementerian/lembaga, ditambah 5-6 persen untuk PEN.
"Sebagian besar tetap sangat bergantung ke temen-temen di swasta," sambung pria yang juga menjabat selaku Wakil Menteri BUMN I ini.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), Muhammad Fuad Nasar, menilai wakaf merupakan instrumen penting untuk menopang perekonomian Indonesia di tengah masa krisis akibat resesi.
"Pengembangan wakaf menjadi salah satu isu penting sebagai buffer penyangga ekonomi nasional kita yang sedang menghadapi resesi," kata Fuad.
Menurut dia, gerakan wakaf memperoleh momentum baru dengan terafirmasinya kebijakan pemberdayaan dana sosial keagamaan.
Pemerintah juga telah memasukan pengembangan kelembagaan ekonomi umat dalam program prioritas nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
"Pemerintah melalui Kementerian Agama RI memiliki peran yang strategis sebagai regulator dan dinamisator pengelolaan (dana) wakaf sesuai perundang-undangan," ungkap Fuad.
Advertisement
Saran Pengamat dan Pengusaha
Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudhistira mengatakan, resesi yang dialami Indonesia disebabkan karena konsumsi rumah tangga yang masih rendah. Khususnya kalangan menengah atas masih enggan membelanjakan uangnya selama pandemi Covid-19.
Dia menjelaskan, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Juni 2020 menunjukkan nilai simpanan rekening diatas Rp 5 miliar meningkat 7,3 persen sejak awal tahun.
Lalu, kelas atas terutama yang memiliki simpanan diatas Rp 5 miliar terlihat mengalihkan dana ke simpanan dibandingkan berbelanja.
Sementara itu kelas atas atau 20 persen kelompok pengeluaran paling atas memiliki kontribusi di atas 45 persen dari total pengeluaran nasional, artinya, hampir setengah konsumsi bergantung pada perilaku belanja kelas atas.
“Jadi sangat signifikan dalam membentuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Yang jadi faktor utama adalah kekhawatiran belanja disaat pandemi masih tinggi penularannya, dan sebagai antisipasi resesi ekonomi,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Jumat (6/11/2020).
Lanjut Bhima, tren konsumsi kelas atas masih akan rendah, selama kasus positif masih di atas 3.000-4.000 kasus harian. Orang kaya yang biasa membeli mobil mewah tapi karena ada kekhawatiran kena Covid-19, sektor otomotif juga terimbas.
Biasanya orang kaya libur panjang bepergian keluar negeri atau ke destinasi wisata misalnya ke Bali, tapi saat ini banyak tempat wisata yang belum optimal. Mal dan restoran juga alami penurunan yang tajam dari sisi omset karena keterbatasan untuk dine in atau makan ditempat.
“Jadi di Q3 konsumsi masih kontraksi cukup dalam. Disarankan ubah stimulus pajak dari stimulus korporasi seperti pengurangan PPh badan menjadi stimulus yang langsung mengarah ke konsumsi akhir,” ujarnya.
Misalnya penangguhan sementara PPN 10 persen dalam 3-6 bulan, karena kelas atas ini kan beli makan di restoran, hotel kena PPN 10 persen, jika itu ditangguhkan bisa mendorong stimulus konsumsi.
“Setidaknya dalam 3-5 kuartal ke depan baru ada pemulihan konsumsi kelas atas yang optimal. Itu pun asumsinya vaksin ditemukan, dan kasus positif bisa ditekan. Selama pandemi belum terkendali dan mobilitas penduduk masih rendah maka orang kaya tetap memilih untuk saving,” pungkasnya.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyarankan 3 hal yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi untuk selanjutnya bisa tumbuh positif kembali, salah satunya dengan memberikan stimulus untuk pengusaha.
Pertama, pemerintah harus bergerak cepat menangani kasus covid-19 untuk seterusnya. Ia menilai saat ini kasus sudah mulai menurun, berarti Pemerintah tinggal mempercepat saja penanganannya.
“Kita itu sangat tergantung untuk mendorong konsumsi bagaimana pengelolaan pandemi covid-19, karena salah satu alasan orang mengurangi konsumsi karena dia tidak confidence dengan ekonomi ke depan lantaran pandemi belum menunjukkan titik puncaknya,” ujar Wakil Ketua APINDO Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam.
Kedua, ia menyarankan agar memberikan stimulus ekonomi untuk kalangan menengah atas (pengusaha).
Bob mengatakan stimulus yang diberikan untuk masyarakat kalangan bawah sudah bagus. Namun untuk kalangan menengah atas belum terasa.
“Stimulus ekonomi untuk masyarakat bawah ini sudah bagus. Tapi stimulus ekonomi untuk masyarakat menengah atas itu belum, padahal 70 persen konsumsi tergantung menengah atas,” jelasnya.
Ketiga, akselerasi belanja pemerintah dipercepat. Menurutnya saat ini belanja pemerintah realisasinya masih rendah padahal kini sudah memasuki bulan November.
“Kalau kombinasi itu dijalani dengan baik kita yakin bisa mengurangi potensi minus, bahkan tahun depan kita bisa tumbuh positif. Jadi ekonomi kita kedepan sangat tergantung kembali lagi bagaimana penanganan covid supaya bisa menunjukkan penurunan dan optimisme meningkat,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit mengatakan, jika Covid-19 selesai, maka resesi bisa dihindari.
"Karena itu protokol kesehatan harus betul-betul dilaksanakan dan diawasi. Ini yang paling mendasar sebab kalau tidak, sebentar-sebentar PSBB (pembatasan sosial)," ujar Anton kepada Liputan6.com.
Jika PSBB digas-rem dalam kurun waktu yang berdekatan, dunia usaha tidak bisa beroperasi dengan maksimal. Menurut Anton, menggenjot ekonomi harus dengan mengatasi pandemi.
Lanjutnya, studi dari beberapa lembaga penelitian menyebutkan kalau naiknya kegiatan ekonomi akan membuat tren pandemi juga turut naik. Namun jika aktivitas tidak berjalan, ekonomi tidak akan tumbuh.
Itulah kenapa, dalam pelaksanaannya, aktivitas ekonomi harus tetap jalan dengan protokol kesehatan yang ekstra hati-hati. "Kita tidak bisa dikotomikan pandemi dan ekonomi. Dua-duanya penting," kata Anton.
Tingkatkan Produktivitas dalam Jangka Pendek
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta Kamdani mengatakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bisa diraih dengan meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek.
Misalnya saja, mendorong normalisasi ekonomi yang lebih kuat dari berbagai partner dagang di Asia Pasifik, mendorong konsumsi akhir tahun.
Kemudian merencanakan proyeksi peningkatan distribusi stimulus untuk korporasi, merencanakan proyeksi pengendalian pandemi yang lebih positif karena semakin mendekati temuan vaksin dan lainnya.
"Di kuartal IV nanti kami harap pemerintah bisa bekerja lebih keras lagi untuk memacu dan meningkatkan confidence konsumsi masyarakat juga menggenjot stimulus baik untuk supply maupun demand," jelas Shinta.
Dirinya melanjutkan, agar resesi teknikal tidak berlangsung lama, Indonesia perlu bekerja keras menciptakan iklim ekonomi yang positif, terus menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha serta meningkatkan produktivitas di sektor-sektor ekonomi yang masih potensial di saat krisis.