Buruh Tuntut UMP dan UMK 2021 Jawa Barat Naik 8,82 Persen

Buruh meminta agar UMP Jawa Barat tahun 2021 naik sebesar 8,82 persen dari nilai UMP di 2020.

oleh Arie Nugraha diperbarui 09 Nov 2020, 14:30 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2020, 14:30 WIB
FOTO: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh di Cikarang Mogok Kerja
Sejumlah buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja dari tanggal 6-8 Oktober tersebut akibat pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Serikat Buruh dan Pekerja Jawa Barat melayangkan empat tuntutan terhadap Gubernur Ridwan Kamil terkait ditetapkannya Undang - undang Omnibus Law Cipta Kerja. Alasannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 soal Cipta Kerja belum dapat menjadi acuan dalam menetapkan upah minimum untuk tahun 2021. 

Menurut juru bicara Gabungan Serikat Buruh dan Pekerja Jawa Barat, Roy Jinto Feriyanto, dalam undang - undang yang baru disahkan itu belum ada peraturan pelaksana sebagai petunjuk teknisnya. Sehingga sebut Roy, ketentuan tentang upah minimum harus tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan beserta aturan-aturan turunannya.

“Kami menuntut agar dalam menetapkan Upah Minimum Kabupaten dan Kota (UMK) untuk tahun 2021 yang harus sudah ditetapkan paling lambat tanggal 20 November 2020, Gubernur Jawa Barat menaikan UMK tahun 2021 sebesar 8,82 pesen dari nilai UMK tahun 2020,” ujar Roy dalam keterangan resminya ditulis Bandung, Senin, 9 November 2020.

Roy menyebutkan atas dasar itulah Surat Edaran Menakertrans bukan peraturan perundangan yang harus dipatuhi sepenuhna, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi daerah. Roy mengatakan beberapa kepala daerah di luar Provinsi Jawa Barat, telah menerapkan kebijakan menaikan upah minimum seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta dan Sulawesi.

Berdasarkan temuan dilapangan, Roy mengaku dalam situasi Covid-19 tidak seluruh perusahaan mengalami kesulitan contohnya sektor makanan dan minuman, sektor kesehatan dan lain-lain. Sehingga ucap Roy, penetapan UMK harus tetap mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku dalam hal ini harus memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tahun ke tahun atau periode September 2019 - September 2020.

“Untuk mewujudkan tuntutan tersebut diatas, kami serikat pekerja dan serikat buruh Jawa Barat siap untuk berdiskusi kapanpun dan dengan siapapun demi kesejahteraan masyarakat dan menjaga kondusifitas Jawa Barat,” kata Roy.

Roy menuturkan kelompoknya juga menuntut kepada Gubernur Ridwan Kamil untuk merevisi surat keputusan Nomor : 561/ Kep.722-Yanbangsos/2020 tertanggal 31 Oktober 2020 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Barat. Karena Gubernur Ridwan Kamil dianggap menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat tersebut tanpa kenaikan nilai UMP untuk tahun 2021 sama dengan nilai UMP tahun 2020. 

Kelompok buruh meminta agar UMP Jawa Barat tahun 2021 naik sebesar 8,82 persen dari nilai UMP tahun 2020. Selain itu Gubernur Ridwan Kamil harus segera menetapkan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) untuk Kabupaten Karawang sesuai dengan rekomendasi yang sudah disampaikan oleh Bupati Karawang.

“Kami juga menuntut agar Gubernur Jawa Barat melakukan revisi terhadap Kepgub tentang UMSK Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor tahun 2020 karena isi Kepgub tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi Bupati dan Walikota masing-masing,” ungkap Roy. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Hasil Pertemuan

Massa Buruh Geruduk Gedung DPR Tuntut UU Cipta Kerja Dibatalkan
Kemacetan arus kendaraan akibat adanya demo buruh di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (9/11/2020). Dalam aksinya massa buruh menuntut dibatalkannya UU No.21 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui mekanisme legislatif review dan kenaikan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Hal itu sebut Roy, juga tidak sejalan dengan hasil pertemuan antara pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh asisten daerah (ASDA) I, Biro Hukum dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat dengan serikat pekerja dan serikat buruh. 

Terutama lanjut Roy, terkait masa berlakunya Keputusan Gubernur dan adanya kalimat ‘hanya berlaku bagi perusahaan yang bersepakat dengan serikat pekerja dan serikat buruh’.

“Penetapan upah minimum adalah kewenangan mutlak Gubernur dan hal tersebut sangat dinanti-nanti oleh para pekerja dan buruh. Kenaikan upah minimum setiap satu kali dalam setahun adalah untuk penyesuaian inflasi dan menjaga daya beli masyarakat agar tidak merosot,” sebut Roy.

Namun sayangnya menurut Roy, pemerintah sekarang ini lebih mendengarkan pendapat para politisi yang belum tentu mengetahui kondisi dilapangan. Itu disebabkan karena belum pernah merasakan hidup sebagai buruh dan lebih mengakomodir keluhan-keluhan pengusaha. 

Padahal tutur Roy, sesulit-sulitnya pengusaha tidak akan hidup susah seperti buruh yang menyandarkan pemenuhan biaya hidup sehari-hari kepada upah minimum yang diterimanya.

“Bahwa bidang ketenagakerjaan sekarang ini sedang mengalami polemik cukup hebat dan buruhlah yang menjadi korbannya. Sudah jatuh tertimpa tangga itulah kira-kira perumpamaan nasib buruh karena sudah dihantam oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kini dihadapkan lagi pada kebijakan upah minimum yang dilarang naik oleh pemerintah,” tukas Roy. (Arie Nugraha)   

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya