Penjelasan Bos OJK Soal Kondisi Sektor Keuangan Terkini, PPKM hingga Kredit BUMN

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan kondisi terkini sektor keuangan di Indonesia

oleh Nurmayanti diperbarui 08 Agu 2021, 22:27 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2021, 22:27 WIB
Kepala OJK Wimboh Santoso
Kepala OJK Wimboh Santoso menyampaikan paparan dalam pertemuan dengan pimpinan bank umum Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Sudah setahun lebih pandemi Covid-19  melanda banyak negara di dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terpukul virus yang berasal dari Wuhan, China ini.

Pemerintah melalui banyak instansi dan lembaga mengambil posisi untuk menjaga perekonomian nasional seraya terus menggiatkan upaya mencegah penyebaran Covid-19.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah salah satu lembaga yang dinanti untuk merilis berbagai kebijakan demi menopang pertumbuhan ekonomi. Berbagai stimulus dirilis lembaga ini di sektor keuangan maupun non keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan kondisi terkini sektor keuangan di Indonesia dan berbagai kebijakan yang telah dan akan diambil selama pandemi demi ikut menjaga kondisi ekonomi nasional dalam acara Media Briefing, Minggu (8/8/2021):

1. Bagaimana perkembangan fungsi intermediasi perbankan?

Di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus dikendalikan oleh pemerintah, fungsi intermediasi perbankan mulai tumbuh positif meskipun belum kuat, OJK mencatat kredit perbankan pada Juni 2021 meningkat sebesar Rp 67,39 triliun dan telah tumbuh sebesar 0,59 persen (yoy) atau 1,83 persen (ytd) menjadi Rp 5.581,8 triliun.

Ini meneruskan tren perbaikan selama empat bulan terakhir seiring berjalannya stimulus pemerintah, OJK, dan otoritas terkait lainnya.

Perbaikan ini didorong oleh mulai membaiknya permintaan kredit seiring dengan berlanjutnya pemulihan kinerja dan aktivitas korporasi, rumah tangga dan UMKM.

Dengan adanya PPKM Level 3 dan 4 di Juli dan Agustus ini, kemungkinan akan memberi tekanan kepada sektor riil yang berdampak pada permintaan kredit di kuartal II-2021.

Kami meyakini, dengan menurunnya angka kasus positif harian diikuti pelonggaran PPKM secara bertahap, maka permintaan kredit akan meningkat kembali seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dan pembukaan kembali berbagai aktivitas ekonomi.

2. Menurut OJK, sebaiknya apa saja yang harus dilakukan perbankan nasional (baik BUMN maupun swasta) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Perbankan nasional, termasuk BPD, harus jeli dan cermat menganalisis dinaika ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah operasionalnya masing-masing.

Di samping langkah-langkah efisiensi operasional harus terus dilakukan, utamanya melalui transformasi digitalisasi perbankan, tetap saja sumber pendapatan bank adalah dari pendapatan bunga kredit.

Untuk itu, fungsi intermediasi secara indivoidual bank bisa dilakukan di daerah-daerah yang menunjukkan pertumbuhan regional (PDRB) yang positif. Mengacu pada data BPS terkini, PDB pulau Jawa mampu tumbuh 7,88 persen (di atas PDB nasional yang 7,07 persen) bisa dijadikan tumpuan penyaluran kredit untuk semua jenis penggunaan.

Hal yang sama juga bisa dilakukan di Sulawesi yang PDB-nya tumbuh 8,51 persen; Maluku dan Papua 8,75 persen; dan Sumatera 5,27 persen.

Masing-masing wilayah ini memiliki keunggulan atau karakteristik perekonomian sehingga perbankan bisa menyalurkan kreditnya di sektor-sektor ekonomi unggulan di masing-masing daerah supaya kreditnya tetap lancar.

Sebagai contoh: Jawa unggul di bidang industri pengolahan. Sumatera unggul hasil pertanian/perkebunan/ kehutanan. Kalimantan unggul dengan hasil pertambangan dan kehutanan (perkayuan).

Maluku dan Papua unggul dengan perikanan. Sulawesi unggul dengan hasil pertambangan (Nikel/Feronikel di Morowali, Kendari) dan perikanan. Bali dan Nusa Tenggara sudah tumbuh positif 3,7 persen (jauh di bawah PDB nasional yang 7,07 persen) sehingga restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 masih menjadi tugas utama perbankan di daerah ini.

3. Faktor apa yang menghambat pertumbuhan kredit, mengapa alokasi dana pihak ketiga lebih kepada penempatan SBN?

Pandemi Covid-19 yang direspon dengan kebijakan pembatasan sosial berdampak pada pelemahan aktivitas ekonomi. Dampak lanjutannya, permintaan masyarakat (rumah tangga) yang selama ini menjadi tulang punggung PDB nasional tertekan.

Lebih lanjut, pelaku usaha mengurangi aktivitas usahanya atau bahkan menutup usahanya sehingga menurunkan permintaan kredit. Bahkan fasilitas kredit yang sudah diterima pun dilunasi secepatnya untuk menyehatkan keuangan mereka.

Di saat permintaan kredit melemah, dana pihak ketiga (DPK) perbankan meningkat signifikan double digit (Juni 2021: 11,28 persen yoy) karena meningkatnya disposable income (pendapatan masyarakat yang tersimpan di rekening bank) karena penggunaan dana untuk konsumsi dan keperluan lain oleh masyarakat juga menurun.

Ini yang menyebabkan DPK perbankan “terkesan” meningkat tajam dibandingkan peningkatan kredit di masa pandemi, karena sebenarnya pemilik dana tidak menggunakan dananya secara normal sebagaimana di masa sebelum pandemi.

Pada saat yang sama, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan rasio GWM rupiah sehingga menambah likuiditas yang sangat longgar di perbankan, tecermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi, yakni 32,95 persen.

Bagi perbankan, kondisi likuiditas yang amat longgar harus diproduktikan dengan strategi yield enhancement melalui penempatan ekses likuiditas di instrumen investasi yang memberikan yield positif dan risiko termitigasi.

Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah (Kemenkeu) menjadi instrumen paling tepat sehingga bank dapat menikmati pendapatan dari yield SBN sekaligus bank memainkan peran intermediasi secara tidak langsung.

Bagi bank publik, pemegang saham dan investor menilai manajemen bank mampu mengelola going concern mereka terkait profitabilitas bank karena bagaimana pun bank dituntut mampu membukukan earnings atau laba yang baik.

4. Bagaimana dampak PPKM yang berkepanjangan terhadap kemampuan membayar cicilan debitur?

Sejauh ini tidak ada masalah yang mengemuka. Kami meyakini perbankan telah berkomunikasi dengan para debiturnya terkait bagaimana pemenuhan kewajiban debitur di masa pandemi Covid-19 baik yang diikuti kebijakan PPKM. Tentu solusinya adalah win-win atau mutual benefits.

5. Bagaimana pantauan OJK terhadap tren restrukturisasi yang sebelumnya sempat melandai, apakah berpotensi terjadi peningkatan lagi?

Hingga 14 Juni 2021 lalu, total outstanding kredit restrukturisasi terdampak Covid-19 sebesar Rp 777,31 triliun. Sebesar Rp 292,39 triliun atau 37,62 persen berasal dari UMKM, sedangkan non-UMKM sebesar Rp 484,92 triliun atau 62,38 persen.

Kebijakan restrukturisasi kredit direspons cukup baik oleh sektor riil maupun perbankan. Hingga posisi 14 Juni 2021, tercatat ada 101 bank yang telah melakukan implementasi restrukturisasi kredit.

Dengan demikian, restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 menunjukkan perbaikan tercermin dari menurunnya jumlah baki debet (outstanding) kredit yang direstrukturisasi.

Meskipun ada PPKM, kami berharap restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 terus berlanjut dengan baik untuk menjaga kinerja perbankan baik secara industriu maupun individual bank. Dunia usaha pun pulih dan semakin kuat melanjutkan usahanya.

6. Dari pantauan OJK, dari kredit yang direstrukturisasi karena Covid-19, berapa besarkah kredit yang akan menjadi bad debt?

Harapan kami restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 dapat terus dilakukan dengan berbagai cara atau strategi yang dilakukan oleh bank-bank dengan para debiturnya mengacu kepada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.

Dengan mempertimbangkan perkembangan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini angka kasus positif hariannya masih relatif tinggi (rata-rata 30.000 kasus), kami melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan.

Langkah ini ditempuh untuk memenuhi kepentingan semua pihak, yaitu pemerintrah, otoritas, perbankan, dunia usaha dan masyarakat luas yang sedang secara bersama-sama bekerja keras mendorong pemulihan ekonomi.

Di sini kami juga mengingatkan perbankan untuk senantiasa memelihara rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai sebagai antisipasi menuju ke fase normalisasi.

 

7. Bagaimana dengan restrukturisasi perusahaan tekstil, Garuda Indonesia, Krakatau Steel dan beberapa BUMN karya? Seberapa ketahanan perbankan terhadap beban restrukturisasi?

20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Proses restrukturisasi korporasi swasta maupun BUMN, apapun sektor usahanya, terus berjalan sesuai dengan praktik restrukturisasi korporasi yang berlaku. Pemilik dan pengurus korporasi tentu memiliki strategi yang tepat dalam melakukan restrukturisasi korporasi ini.

Sedangkan khusus untuk kredit bermasalah yang dialami korporasi/BUMN karena terdampak Covid-19, maka rujukan restrukturisasinya adalah POJK Nomor 48/POJK.03/2020.

Dengan restrukturisasi yang dijalankan dengan baik, ketahanan perbankan dapat dijaga dengan baik pula.

Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Mei 2021 tetap tinggi sebesar 24,28 persen, dan rasio kredit bermasalah (NPL) tetap terjaga, yakni 3,35 persen (bruto) dan 1,10 persen (neto).

8. Seperti apa seharusnya antisipasi yang dilakukan perbankan untuk menjaga tingkat NPL jika kebijakan restrukturisasi akan normalisasi kembali?

Antisipasi perbankan di tahap awal sebelum kredit diberikan adalah melakukan credit assessment yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait credit risks management.

Pada saat kredit berjalan, pemantauan wajib dilakukan dengan ketat terkait penggunaan fasilitas kredit, yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas kredit.

Jika sampai terjadi penurunan kualitas kredit hingga menjadi NPL, maka kalau penyebabnya adalah Pandemi Covid-19, bank dapat mengacu pada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 untuk restrukturisasi kreditnya.

Jika NPL terjadi bukan karena dampak pandemi, bank bisa menggunakan kebijakan restrukturisasi NPL standar sesuai aturan yang berlaku.

9. OJK berencana untuk memperpanjang restrukturisasi kredit perbankan, apa latar belakangnya?

Untuk berapa lama akan diperpanjangan dan kapan aturannya akan dirilis? OJK mempertimbangkan perpanjangan kebijakan relaksasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2022.

Hal ini dilakukan karena upaya pemulihan ekonomi nasional terhambat oleh pembatasan mobilitas masyarakat akibat lonjakan angka positif Covid-19.

OJK melihat adanya pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid-19 sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat.

Oleh karena itu, OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan yang selama ini sudah diatur dalam POJK Nomor 48/POJK.03/2020 dan restrukturisasi pembiayaan di Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berdasarkan Peraturan OJK Nomor 58/POJK.05/2020.

Perpanjangan beleid ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi perbankan dan dunia usaha bertahan dan melanjutkan usahanya untuk menopang pemulihan perekonomian nasional.

Keputusan resmi OJK akan dikeluarkan paling lambat akhir Agustus 2021.  Saat ini rencana perpanjangan kembali POJK No. 48/2020 masih dalam pengkajian di internal OJK.

10. Mengapa suku bunga kredit sulit untuk turun lebih rendah? Apa tanggapan OJK mengenai NIM relatif masih besar meski kredit tumbuh kecil?

Sejatinya suku bunga sudah bergerak turun baik untuk simpanan maupun kredit. Di pasar uang dan pasar dana, suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) overnight dan suku bunga 1 bulan deposito perbankan telah menurun, masing-masing sebesar 153 bps dan 209 bps sejak Mei 2020 menjadi 2,79 persen dan 3,60 persen pada Mei 2021.

Di pasar kredit, penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan terus berlanjut, yaitu menurun sebesar 169 bps sejak Mei 2020 menjadi 8,86 persen pada Mei 2021. Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) menjadi pendorong utama penurunan SBDK.

Di sisi lain, premi risiko perbankan menunjukkan penurunan, yang mengindikasikan persepsi risiko perbankan terhadap dunia usaha cenderung membaik.

Penurunan premi risiko tersebut mendorong penurunan suku bunga kredit baru di hampir semua kelompok bank.

Berdasarkan jenis kredit, penurunan suku bunga kredit baru paling dalam terjadi pada jenis kredit mikro, diikuti kredit investasi dan modal kerja. Terkait Net Interest Margin (NIM) yang masih relatif masih tinggi menurut persepsi masyarakat, sebetulnya hal itu merupakan mekanisme pasar perbankan.

Dengan semakin tingginya literasi keuangan masyarakat, diharapkan masyarakat akan memilih bank yang memberikan layanan yang lebih berkualitas daripada iming-iming suku bunga.

Suku bunga kredit yang kompetitif (lebih rendah dibanding bank-bank pesaing) akan menjadi faktor utama menarik debitur yang pada gilirannya akan menekan bank untuk menurunkan NIM.

Penurunan NIM harus diikuti dengan peningkatan efisiensi operasional sebagai kompensasinya sehingga bottomline (net profit) bank tetap terjaga baik.

Efisiensi operasional bisa dilakukan dengan mengubah cara kerja bank melalui transformasi digitalnya. Paralel dengan itu, di masa pandemic ini diperlukan upaya cerdas untuk mendorong kenaikan fee based income (pendapatan non bunga) melalui layanan digital transactional banking.

11. Apakah akan ada kebijakan khusus dari OJK untuk mendorong penyaluran kredit perbankan di masa pandemi ini, terutama untuk Bank BUMN?

Istilah yang benar bukan bank menaikkan NIM, melainkan kecakapan bank dalam mengelola pendapatan bunga dengan beban bunga yang menyebabkan NIM terkesan naik.

Kami tahu setiap individual bank harus menjaga NIM pada level tertentu untuk dapat mempertahankan kinerjanya.

Terkait deviden Bank BUMN, hal itu menjadi domain pemegang saham. Terkait dorongan penyaluran kredit di masa pandemi, OJK senantiasa melakukan komunikasi kepada perbankan bagaimana mendorong fungsi intermediasi secara ekstra hati-hati.

OJK tidak bisa memaksakan bank-bank harus melakukan ekspansi kredit karena semua terpulang kembali kepada policy setiap bank.

Pemegang saham lebih memiliki concern untuk memberikan guidance supaya bank tetap menyalurkan kredit di masa pandemi dengan koridor prudensial yang tinggi.

Kami meyakini, jika kondisi herd immunity sebagai wujud keberhasilan program vaksinasi dan prokes (6M dan 3T) yang ketat, diikuti pembukaan ekonomi dan mobilitas masyarakat, maka dengan sendirinya permintaan kredit akan meningkat. Jadi ini hanya masalah waktu saja.

12. Bagaimana dukungan OJK untuk pembiayaan sektor UMKM?

OJK terus berupaya dan mencari solusi terbaik dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), antara lain melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan di masyarakat.

Peningkatan literasi dan inklusi keuangan, diyakini bisa mengembangkan UMKM karena pelaku UMKM dapat lebih memahami konsep dasar dari produk keuangan, melakukan perencanaan dan pengelolaan keuangan yang lebih baik, serta melindungi mereka dari penipuan dan usaha tidak sehat di pasar keuangan.

OJK terus mengembangkan program peningkatan kapasitas UMKM melalui sektor jasa keuangan, seperti dari perbankan, industri keuangan non bank dan pasar modal serta edukasi keuangan ke kalangan UMKM.

Untuk itu, pengembangan Literasi dan Inklusi Keuangan, selain bersifat top down dalam bentuk leadership dan kebijakan Pemerintah maupun regulator termasuk OJK, juga bersifat bottom up dengan melibatkan inisiatif dari industri jasa keuangan maupun organisasi kemasyarakatan lainnya.

OJK perlu selalu bersinergi dengan Industri Jasa Keuangan dan Kementerian/Lembaga terkait dalam melakukan berbagai program literasi dan inklusi keuangan.

Monitoring, evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan, bersama dengan seluruh pihak terkait secara berkala atas berbagai program pengembangan literasi dan inklusi keuangan yang telah dijalankan juga harus dilaksanakan.

Ke depan, pengembangan literasi dan inklusi keuangan untuk pengembangan UMKM, juga memerlukan optimalisasi pemanfaatan financial technology untuk memudahkan akses dan memperluas jangkauan.

Kami memandang UMKM memberikan kontribusi cukup signifikan bagi perekonomian. Secara statistik, UMKM memberikan kontribusi 57,9 persen terhadap PDB Indonesia dan menyerap 97 persen dari pekerja nasional sehingga OJK memandang UMKM perlu diberdayakan dan ditingkatkan untuk mendorong perekonomian negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

 

13. Menurut OJK sektor-sektor apa saja yang dapat menjadi prioritas penyaluran kredit dalam rangka strategi peningkatan penyaluran kredit?

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso

Apakah akan ada kebijakan dari OJK untuk mendukung penyaluran ke sektor-sektor tersebut? Ada dua hal yang perlu diperhatikan bank dalam melakukan penyaluran kredit ke sektor-sektor pilihan. Pertama, disesuaikan dengan keunggulan ekonomi suatu daerah.

Kedua, disesuaikan dengan kompetensi atau kapabilitas bank dalam melakukan pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi pilihannya. Kemampuan bank untuk melakukan pemetaan sektor ekonomi baik dalam skala nasional maupun daerah/wilayah/propinsi penting sebagai rujukan penyaluran kredit ke sektor yang prospektif.

Seyogyanya bank memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan menganalisasi potensi ekonomi andalan atau unggulan di suatu daerah dan dikaitkan dengan kesiapan sumber daya manusianya di bidang kredit yang akan melakukan pengelolaan kredit sektoral tersebut.

Ini dimaksudkan supaya kredit yang diberikan tetap berada dalam kolektibilitas lancar. Secara spesifik, OJK menghimbau agar Pemerintah daerah dapat mendorong ekonomi daerah berbasis pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan penyaluran KUR Pertanian yang sudah menjadi sektor prioritas.

OJk juga memandang dibutuhkan juga upaya untuk mendorong sumber pertumbuhan ekonomi baru yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan berorientasi ekspor sehubungan dengan peningkatan permintaan global, yang juga ramah lingkungan sejalan dengan kebijakan Pemerintah di bidang perubahan iklim (climate change dan sustainable finance).

14. Bagaimana proyeksi pertumbuhan kredit untuk kuartal 3 dan 4?

Pertumbuhan kredit diperkirakan akan sedikit tertekan di kuartal III-2021, sejalan dengan menurunnya kegiatan ekonomi karena pembatasan mobilitas (PPKM) terhadap pandemi Covid-19, dan akan kembali meningkat pada kuartal IV-2021.

Dengan perkembangan tersebut, OJK memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2021 akan berkisar 6 persen +/- 1 persen (5-7 persen), juga sesuai dengan rencana Bisnis Bank Bank (RBB) 2021.

Perlu kami ingatkan, bahwa peran pasar modal sebagai pendukung pemulihan ekonomi juga menjadi andalan penting karena pasar modal menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi korporasi/dunia usaha untuk melakukan ekspansi usaha.

Pasar modal juga menjadi alternatif investasi bagi sebagian masyarakat, termasuk kelompok investor milenial, dimana instrumen investasi di pasar modal diyakini mampu memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan instrumen investasi di perbankan.

15. Bagaimana gambaran sektor perbankan di negara-negara ASEAN dibandingkan Indonesia selama masa pandemi dan dampak ke perekonomian masing-masing negara?

Kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga mempengaruhi kinerja perbankan dalam menghimpun dana dan menyalurkan kredit.

Pandemi pada 2020-2021 sejauh ini tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan DPK di kawasan ASEAN. Pertumbuhan DPK di Singapura dan Vietnam relatif konstan, sedangkan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand cenderung meningkat.

Pertumbuhan kredit di Malaysia cenderung konstan, sedangkan Thailand dan Vietnam menunjukkan tren peningkatan. Sementara pertumbuhan kredit di Indonesia dan Singapura cenderung menurun karena pembatasan sosial yang ketat dengan dampak ekonominya.

Industri perbankan di Indonesia mengalami “anomali” dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, di mana pertumbuhan DPK di Indonesia terus meningkat, sementara pertumbuhan kredit belum kuat.

Secara umum pandemi Covid-19 telah menekan perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Sampai dengan kartal I-2021 lalu, perekonomian masing-masing negara mengalami kontraksi (hanya Vietnam yang positif di level 4,5 persen).

Pemulihan ekonomi negara-negara di ASEAN berjalan dengan kecepatan berbeda bergantung pada kecepatan penanganan pandemi Covid-19 melalui vaksinasi massal dan disiplin protokol kesehatan. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, proses vaksinasi tidak akan secepat negara-negara non-kepulauan seperti Singapura dan Vietnam.

16. Bisa dijelaskan bagaimana roadmap digitalisasi di sektor jasa keuangan menurut OJK?

OJK telah merancang Digital Finance Innovation Roadmap And Action Plan 2020-2024 yang mencakup Rencana Aksi dan Quick Wins OJK dalam mengakselerasi transformasi digital di sektor jasa keuangan secara menyeluruh.

Rencana Aksi dan Quick Wins yang akan dilakukan oleh OJK dalam mendukung transformasi digital, yaitu:

1) OJK akan mengembangkan inovasi yang bertanggungjawab di sektor jasa keuangan melalui optimalisasi regulatory Sandbox.

2) Transformasi digital di sektor keuangan harus mendukung stabilitas sistem keuangan sehingga tercipta level playing field dan meminimalisir regulatory arbitrage.

Selain itu, pengembangan produk dan layanan keuangan digital harus tetap memperhatikan prinsip market conduct dan kehati-hatian yang diimbangi dengan manajemen risiko yang handal.

3) Transformasi digital harus menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong UMKM bertransformasi digital melalui pelatihan dan pendampingan secara intensif, juga harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan potensi ekonominya.

4) Transformasi digital diharapkan dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia melalui perluasan akses pembiayaan kepada masyarakat di remote area.

Selain itu, OJK terus mendorong industri jasa keuangan untuk memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan transparansi dan perlindungan konsumen.

 

17. Bisa dijelaskan bagaimana peran OJK di masa pandemi ini, khususnya dalam mendukung stabilitas sistem keuangan dan pemulihan ekonomi nasional?

Presiden Jokowi kumpulkan para pemimpin bank
Kepala OJK Wimboh Santoso \. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

OJK bersama dengan Pemerintah dan Bank Indonesia bahu membahu bersinergi mengeluarkan serangkaian kebijakan extraordinary, preemptive dan forward looking untuk memitigasi dampak pandemi Covid di tahun 2020 dan 2021 ini, diantaranya:

- Untuk meredam volatilitas di pasar modal, OJK telah mengeluarkan berbagai kebijakan stabilisasi pasar di pasar modal untuk menjaga sentimen pasar, diantaranya:

• Pelarangan short selling untuk sementara waktu.

Asymmetric auto rejection & trading halt 30 menit untuk penurunan sebesar 5 persen.

Buyback saham tanpa melalui RUPS oleh emiten yang memenuhi persyaratan tertentu.

- OJK juga mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit (POJK 11/2020, yang diperpanjang dengan POJK No. 48/2020, untuk memberikan ruang bagi perbankan dan sektor riil memiliki ketahanan dalam menghadapi dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

18. Bagaimana OJK melihat tantangan ke depan? Kebijakan apa yang ditempuh?

Di masa pandemi kita dihadapkan pada tantangan bagaimana menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan untuk dapat mendukung pemulihan ekonomi:

-Percepatan program vaksinasi di tengah penyebaran strain atau varian baru, khususnya varian Delta.

-Pemulihan ekonomi dan unwinding stimulus/normalisasi kebijakan di negara-negara maju (Eropa dan Amerika Serikat) yang berpotensi menimbulkan capital outflow dana negara berkembang Asia. 

- Pemanfaatan peluang perbaikan permintaan global, terutama dari negara-negara mitra dagang utama.

- Percepatan transformasi digital di tengah pergeseran perilaku konsumen dengan tetap mewaspadai potensi cyber risk.

- Pengelolaan climate risk issue secara seksama yang saat ini tengah menjadi agenda global.

Adapun kebijakan ke depan yang akan ditempuh oleh OJK adalah sebagai berikut:

  • Mengawal pelaksanaan PPKM level 4 dan 3 dengan baik. 
  • Mempercepat implementasi program vaksinasi.

- OJK bersama Kementerian Kesehatan melakukan vaksinasi massal pelaku SJK dan masyarakat dengan target minimal 335 ribu orang sampai Juli 2021.

- Mendorong pendirian sentra vaksinasi oleh lembaga keuangan untuk vaksinasi pegawai dan konsumen.

Mendukung optimalisasi kebijakan fiskal Pemerintah, termasuk dalam penyerapan anggaran di Pusat dan Daerah. Mengakselerasi Hilirisasi Ekonomi dan Keuangan Digital:

• Pengembangan ekosistem digital yang terintegrasi.

• Rencana Aksi dan Quick Wins OJK dalam mengakselerasi transformasi digital yang tercakup dalam Digital Finance Innovation Roadmap And Action Plan 2020-2024.

- Mendorong implementasi Sustainable Finance sebagai sumber pembiayaan masa depan yang utama, mencakup:

• Pengembangan taksonomi hijau.

• Pengembangan kerangka manajemen risiko lingkungan (climate related financial risk) bagi industri dan pengawas.

• Inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan.

• Peningkatan awareness dan capacity building untuk seluruh pemangku kepentingan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya