Ombudsman: Tarif Sewa Tinggi Program SJUT Bertentangan Asas Pelayanan Publik

Ombudsman menyarankan ke pemerintah untuk membuat kajian Regulatory Impact Analysis (RIA) terhadap regulasi terkait SJUT khususnya perencanaan dan pengenaan tarif sewa.

oleh Arief Rahman H diperbarui 25 Agu 2021, 09:51 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2021, 09:45 WIB
ombud
Gedung Ombudsman RI (Liputan6.com/Setkab.go.id)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Ombudsman Hery Susanto mengatakan, tarif sewa yang tinggi dari program Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) kepada penyelenggara layanan utilitas dapat mendorong kenaikan tarif layanan yang dibebankan kepada konsumen. Hal ini sangat bertentangan dengan asas pelayanan publik.

Hery menjelaskan, Program SJUT DKI Jakarta harus memprioritaskan asas pelayanan publik. Dalam Telaah UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 4 menyebutkan, penyelenggaraan pelayanan publik harus berasaskan kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalanmdan partisipatif.

Selain itu juga harus berasaskan persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

"Secara regulasi, mengenakan sewa ke pelaku usaha penyedia layanan utilitas publik, Pemprov DKI dan BUMD melanggar Perda DKI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas karena regulasi tersebut yang diatur adalah retribusi bukan sistem sewa," tegas Hery dalam keterangan tertulis, Rabu (25/8/2021).

Program SJUT merupakan misi pemerintah DKI Jakarta untuk menjadikan ibu kota yang modern dan nyaman dengan melakukan perapihan kabel telekomunikasi. Diharapkan tidak ada lagi kabel udara yang melintas demi penataan kota yang lebih baik dan berkualitas sehingga dapat mendukung aktifitas ekonomi, pendidikan dan sosial masyarakat.

Di samping itu, problematika lain di dalam program SJUT di DKI Jakarta menurut Hery adalah adanya proyek yang tidak terkoordinasikan misalnya galian listrik dan pipa air, sehingga berdampak kerusakan trotoar dan sering terjadi kemacetan akibat galian.  

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Sewa Terlalu Tinggi

Kemacetan di Jalan Kapten Tendean Akibat Proyek Galian Utilitas
Suasana Jalan Kapten Tendean, Mampang Prapatan, Jakarta yang macet, a, Senin (5/4/2021). Kemacetan dari arah Jalan Kapten Tendean menuju kawasan Blok M itu disebabkan adanya proyek galian kabel Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) yang memakan sebagian badan jalan. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Hery melanjutkan, bahwa harga sewa SJUT yang diajukan oleh Jakpro melalui anak usahanya, PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) dinilai banyak pihak terlalu tinggi.

Selama ini dalam menggelar jaringan, operator telekomunikasi hanya perlu membayar retribusi sekali atau one time charge sebesar Rp 10.000 per meter untuk subduc 40mm. Ditambah dengan biaya vendor dan lainnya sehingga biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 16.500 untuk pemakaian kabel selama 10 tahun.

Namun tarif yang diterapkan untuk sewa SJUT oleh PT Jakarta Infrastruktur Propertindo adalah biaya sewa setahun. Dimana dengan rincian slot pipa 25/20 mm dengan harga Rp 15.000/m/way, slot pipa 20/16 mm dengan harga Rp 13.000/m/way dan slot subduc (shared) 40/43 mm (FO akses) dengan harga Rp 3.000/m/kabel FO (max 12 core).

 Lanjutnya, penetapan tarif ini dianggap memberatkan penyelenggara jaringan sehingga penyelenggara ikut menaikan tarif layanan telekomunikasi yang berdampak kepada konsumen.

"Jangan sampai langkah yang bertujuan untuk menata keindahan kota malah bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada akhirnya menguntungkan salah satu pihak tapi merugikan publik luas," ujarnya.

Hery pun memberikan saran perbaikan kepada pemerintah untuk membuat kajian Regulatory Impact Analysis (RIA) terhadap regulasi terkait SJUT khususnya perencanaan, pengenaan tarif sewa maupun retribusi dan hal lainnya yang akan berdampak kepada masyarakat.

"Jika pun menggunakan pola tarif sewa, maka harus ada batas atas tarif sewa dan mengedepankan asas musyawarah sehingga pihak operator pun tidak terbebani dan pada akhirnya masyarakat juga tidak terbebani," ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya