Banjir Bandar Lampung, Peneliti Itera: Ini Bukan Hanya Masalah Alam

Fenomena ini menjadi perhatian Ir. Arif Rohman, dosen Teknik Geomatika sekaligus Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum Institut Teknologi Sumatera (Itera).

oleh Ardi Munthe diperbarui 22 Jan 2025, 02:00 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2025, 02:00 WIB
Sejumlah mobil, kapal nelayan dan warga hanyut terbawa derasnya arus banjir di Kota Bandar Lampung. Foto : (Istimewa).
Sejumlah mobil, kapal nelayan dan warga hanyut terbawa derasnya arus banjir di Kota Bandar Lampung. Foto : (Istimewa).... Selengkapnya

Liputan6.com, Lampung - Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Provinsi Lampung, termasuk Kota Bandar Lampung, pada Jumat (17/1/2025). Fenomena ini menjadi perhatian Ir. Arif Rohman, dosen Teknik Geomatika sekaligus Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum Institut Teknologi Sumatera (Itera). 

Menurut peneliti banjir itu, fenomena bencana alam yang terjadi di perkotaan memang tak terelakkan, namun dampaknya bisa dikelola dan dikurangi.

"Setiap tahun, masyarakat menghadapi pola yang sama, hujan deras turun, sungai meluap, dan kota kembali terendam. Banjir seolah menjadi rutinitas tahunan. Tapi, banjir bukan sekadar peristiwa alam. Ini juga akibat interaksi manusia dengan lingkungan," kata Arif, Sabtu (18/1/2025).

Arif menerangkan, banjir adalah bagian dari siklus hidrologi yang alami. Namun, urbanisasi yang pesat menyebabkan air kehilangan tempat resapannya. Akibatnya, aliran permukaan meningkat drastis dan memicu genangan di berbagai wilayah.

"Banjir itu pasti terjadi, tetapi risikonya bisa dikurangi. Alih-alih menyalahkan cuaca atau kondisi geografis, kita perlu pendekatan mitigasi yang lebih efektif," terangnya.

Ia menyebutkan, pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction/DRR) dapat dilakukan melalui beberapa strategi, seperti meningkatkan kapasitas drainase, menerapkan konsep kota spons (sponge city), dan memperluas ruang hijau sebagai daerah resapan air. Sayangnya, banyak kota masih fokus pada solusi jangka pendek, seperti penggunaan pompa air atau peninggian tanggul, yang hanya bersifat sementara.

Arif menyatakan, banjir bukan hanya masalah lokal. Wilayah terdampak banjir sering kali menerima limpahan air dari perubahan tata guna lahan di daerah lain.

"Jika banjir terjadi di Way Lunik, Panjang, misalnya, kita harus melihat daerah mana yang berkontribusi besar terhadap aliran air ke sana. Ini bukan sekadar masalah satu kawasan," ungkapnya.

 

 

Simak Video Pilihan Ini:

Model Analisis Spasial Pemetaan Tata Guna Lahan

Untuk itu, kata dia, Itera mengembangkan Land Use Examination Global Model (LEx-GM), sebuah model analisis spasial untuk memetakan perubahan tata guna lahan dan dampaknya terhadap hidrologi.

Model ini mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti dan membantu pemerintah menentukan zona yang perlu dilindungi, kebijakan tata ruang yang adaptif, serta strategi mitigasi yang lebih efektif.

Arif juga menyoroti pentingnya teknologi dalam pengelolaan banjir. Dengan memanfaatkan drone, smartphone, dan teknologi pemodelan topografi, masyarakat dapat menerima informasi zona rawan banjir secara real-time dan meningkatkan kesiapan menghadapi bencana.

"Teknologi memungkinkan kita mengambil langkah proaktif, bukan hanya reaktif. Mitigasi banjir harus menjadi bagian dari kebijakan tata ruang yang berkelanjutan," jelas dia.

Banjir di Bandar Lampung, menurut Arif, membutuhkan pendekatan sistemik yang berbasis data. Perencanaan tata guna lahan harus dilakukan secara cerdas dan inovatif agar dampak banjir dapat diminimalkan.

"Sejak kapan banjir di Lampung menjadi rutinitas. Kita perlu mengubah cara berpikir, dari sekadar merespons bencana menjadi mengantisipasinya. Dengan mitigasi yang tepat, banjir tak lagi menjadi siklus tanpa akhir, tetapi tantangan yang bisa kita kendalikan," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya