Liputan6.com, Jakarta - National Aeronautics and Space Administration (NASA) tengah bersiap meluncurkan misi baru bernama Pandora pada 2025. Misi ini bertujuan untuk mempelajari atmosfer setidaknya 20 eksoplanet atau planet di luar Bima Sakti.
Melansir laman SciTechDaily pada Selasa (21/01/2025), misi ini disebut akan menggunakan teknologi mutakhir yang dirancang NASA. Pandora diharapkan bisa memberikan data penting untuk mendukung teleskop luar angkasa James Webb (JWST) dalam memahami karakteristik atmosfer dunia asing.
Pandora dirancang untuk menjadi misi kecil namun sangat signifikan. Fokusnya adalah untuk menganalisis kabut, awan, dan keberadaan air di atmosfer eksoplanet.
Advertisement
Baca Juga
Informasi ini akan menjadi landasan untuk memahami planet-planet yang potensial untuk dihuni. Pandora akan memungkinkan pengamatan yang lebih panjang dan mendalam dibandingkan teleskop besar seperti James Webb.
Hal ini sangat penting untuk memisahkan sinyal atmosfer planet dari pengaruh cahaya bintang induknya. Untuk pengamatan, Pandora menggunakan teleskop kecil berbahan aluminium dengan diameter 45 cm.
Teleskop Pandora dirancang oleh Lawrence Livermore National Laboratory dan Corning Specialty Materials. Teknologi ini mampu menangkap spektrum cahaya tampak dan inframerah sekaligus, memberikan data yang lebih bersih dan akurat.
Pandora juga akan memperbaiki kendala yang dihadapi teleskop James Webb dalam memisahkan sinyal dari planet dan bintang. Misi Pandora akan mengamati setidaknya 20 eksoplanet selama satu tahun.
Setiap planet akan diobservasi sebanyak 10 kali, dengan setiap sesi berlangsung selama 24 jam. Dalam setiap sesi ini, Pandora akan menangkap spektrum planet saat transit, membantu para ilmuwan memisahkan sinyal atmosfer planet dari sinyal bintang induknya.
Â
Keunggulan Pandora
Keunggulan Pandora adalah kemampuannya melakukan pengamatan secara terus-menerus. Hal ini adalah sesuatu yang sulit dilakukan oleh teleskop besar seperti James Webb karena tingginya permintaan waktu pengamatan.
Pandora dijadwalkan meluncur pada musim gugur dan akan menjadi pelengkap utama teleskop James Webb. Misi ini diharapkan tidak hanya memberikan wawasan mendalam tentang atmosfer eksoplanet, tetapi juga membuka jalan baru dalam pencarian planet yang layak huni.
Selama ini, tantangan terbesar dalam studi eksoplanet adalah fenomena "sinyal campuran." Ketika planet melintas di depan bintang (transit), cahaya bintang yang melewati atmosfer planet membawa informasi penting tentang komposisi kimia dan struktur atmosfernya, seperti keberadaan air, metana, atau karbon dioksida.
Teknik ini dikenal sebagai transit spectroscopy dan merupakan salah satu metode utama dalam karakterisasi atmosfer eksoplanet. Namun, permukaan bintang sering kali tidak seragam.
Ada area yang lebih terang, disebut faculae, dan area yang lebih gelap, seperti bintik matahari (sunspots), yang terus berubah seiring waktu akibat aktivitas magnetik bintang. Ketidakseimbangan cahaya dari permukaan bintang ini dapat mengganggu atau mendistorsi sinyal yang berasal dari atmosfer planet, sehingga sulit untuk memisahkan informasi yang benar-benar berasal dari planet.
Fenomena ini pertama kali diprediksi pada 2018 oleh Benjamin Rackham, seorang ilmuwan di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia menemukan bahwa variabilitas cahaya bintang yang tidak seragam dapat menutupi atau bahkan meniru sinyal atmosfer planet, termasuk tanda-tanda keberadaan air.
Hal ini memberikan tantangan besar bagi astronom dalam menentukan komposisi atmosfer eksoplanet dengan akurasi tinggi, terutama untuk planet yang mengorbit bintang-bintang aktif seperti katai merah, yang cenderung memiliki banyak bintik matahari.
(Tifani)
Advertisement