Liputan6.com, Denpasar - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menarik pajak natura atau pemberian barang bukan dalam bentuk uang (kenikmatan) dari perusahaan berupa fasilitas yang diterima karyawan dari tempatnya bekerja.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal mengatakan, sebelumnya natura ini tidak dikenakan pajak sebab dianggap bukan penghasilan. Namun, kini pajak natura tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Baca Juga
Adapun penghasilan natura adalah fasilitas/kenikmatan yang diberikan, baik berupa mobil, rumah, ponsel dan jenis barang lainnya, namun tidak tercatat sebagai penghasilan di Surat Pemberitahuan (SPT) pajak.
Advertisement
"Karena fasilitasnya bukan uang maka selama ini tidak dihitung sebagai penghasilan dan tidak punya penghasilan saat mengisi SPT. Ini yang diubah," kata Yon Arsal dalam Sosialisasi dan diskusi UU HPP di Denpasar, Bali, Jumat (5/11/2021).
Namun dalam UU HPP, pajak natura yang diterima para karyawan perusahaan akan dihitung sebagai penghasilan dan akan biaya yang dikenakan kepada perusahaan.
"Kalau rumah, itu berapa sewa rumah itu, buat saya jadi penghasilan. Di perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya, jadi hitung di SPT nanti," ujar dia.
Yon mencontohkan, ada orang kaya memiliki 13 perusahaan tapi tidak menerima gaji berupa uang tunai, melainkan bentuk barang seperti mobil hingga rumah di setiap perusahaan.
Maka dia tidak tercatat sebagai Wajib Pajak karena tidak memiliki penghasilan. Tapi berkat adanya UU HPP, kini bisa disebut sebagai orang pribadi kena pajak atau PPh OP.
"Misalnya saya orang sangat kaya kemudian saya punya 13 perusahaan. Saya enggak terima gaji dari perusahaan, tapi dari perusahaan 1 saya minta mobil, dari perusahaan 2 saya minta fasilitas rumah. Sekarang kan tarif pajaknya sudah beda nih, jadi 22 persen, OP mungkin saya masuk ke 35 persen,"Â jelas dia.
Kendati demikian, untuk pajak natura ini tidak dihitung dari harga mobil atau harga rumah yang didapat karyawan. Misalnya untuk fasilitas rumah misalnya, DJP akan menghitung pajak dari perkiraan biaya sewa rumah.
"Nanti kita hitung aturannya terkait berapa harga sewa seharusnya atau minimalnya atau harga penggantian yang sewajarnya, lah. Nah itulah yang menjadi penghasilan," jelas Yon.
Yon menyebut Pemerintah akan mengatur 5 kelompok natura yang akan dikecualikan dari pengenaan pajak. Pertama, penyediaan makan/minum, bahan makanan/minuman bagi seluruh pegawai.
Kedua, natura di daerah tertentu. Ketiga, natura karena keharusan pekerjaan seperti seragam perusahaan dan lainnya.
Keempat, natura yang bersumber dari APBN/APBD/APBDes, dan kelima adalah natura jenis dan Batasan tertentu.
Â
Penjelasan DJP Soal Wajib Pajak Belum Bayar Denda Bisa Tidak Kena Pidana
Pemerintah kini memberikan keringanan sanksi bagi wajib pajak (WP) yang belum membayar pokok pajak, kemungkinan tidak dipidana.
Namun, Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama, menegaskan, bukan berarti aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini menghilangkan potensi penerimaan pajak.
"Berbagai bentuk substansi UU HPP selaras dengan tujuan Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya mengenai relaksasi sanksi-sanksi dalam perpajakan. Ini bukan berarti banyak kehilangan dari potensi penerimaan pajak segala macam, tidak," kata Hestu Yoga dalam Sosialisasi dan diskusi UU HPP di Denpasar, Bali, Jumat (5/11/2021).
Disamping itu, selain kemungkinan tidak dipidana, Wajib Pajak yang terlambat membayar pajak juga dikenakan sanksi yang lebih rendah dibandingkan sanksi pada aturan KUP lama sebesar 50-100 persen.
Adapun ketentuan sanksi dalam UU HPP, diantaranya sanksi pemeriksaan dan wajib pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yakni, PPh kurang dibayar akan dikenakan bunga per bulan sesuai dengan bunga yang berlaku di pasar sehingga tidak menjadi denda yang sangat tinggi, atau bunga per bulan sebesar suku bunga acuan ditambah uplift factor atau denda tambahan 20 persen dengan maksimal 24 bulan.
Sementara, pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dikenakan sanksi 50 persen.
Selanjutnya, untuk PPh kurang dipotong dikenakan bunga per bulan sesuai dengan bunga yang berlaku di pasar sehingga tidak menjadi denda yang sangat tinggi, atau bunga per bulan sebesar suku bunga acuan ditambah uplift factor atau denda tambahan 20 persen dengan maksimal 24 bulan, sedangkan pada UU KUP dikenakan sanksi 100 persen.
Â
Â
Advertisement
Aturan Lainnya
Untuk PPh dipotong tetapi tidak disetor, sebelumnya dalam UU KUP dikenakan denda 100 persen dan dalam UU HPP kini dikenakan hanya 75 persen.
Kemudian untuk PPN dan PPnBM kurang bayar juga di UU HPP dendanya diturunkan menjadi 75 persen dari sebelumnya 100 persen.
Di sisi lain, bagi sanksi setelah upaya hukum namun keputusan keberatan atau pengadilan mengusulkan ketetapan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka wajib pajak dikenakan denda 30 persen dari sebelumnya 50 persen dalam UU KUP.
Kemudian, jika wajib pajak yang berperkara mengajukan banding akan dikenakan denda 60 persen, sebelumnya di UU KUP dikenakan 100 persen.
Yoga menilai sanksi yang rendah ini diharapkan membuat wajib pajak patuh dan sukarela serta mandiri dalam membayar kekurangan pajak beserta dendanya. Sementara, jika sanksi yang diberikan bagi Wajib pajak terlalu tinggi, justru mereka akan menghindar tidak membayar pajak dan dendanya.
Dengan demikian, jika wajib pajak tetap mangkir tidak bayar pajak dan denda. Maka opsi terakhir adalah mempidanakan.
"Bahkan ketika kita masuk tahapan untuk menindak pidana perpajakan, kita selalu memberi kesempatan kepada WP yang mengaku salah," pungkasnya.