Dekarbonasi Bikin Biaya Penerbangan Jadi Lebih Mahal

Delta Air Lines mengatakan bahwa mengatasi perubahan iklim akan membuat biaya penerbangan menjadi lebih mahal.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 15 Nov 2021, 21:00 WIB
Diterbitkan 15 Nov 2021, 21:00 WIB
Ilustrasi pesawat Boeing 737 Max 8 (AFP/Stephen Brashear)
Ilustrasi pesawat Boeing 737 Max 8 (AFP/Stephen Brashear)

Liputan6.com, Jakarta - Bos maskapai terbesar kedua di dunia mengatakan bahwa upaya mengatasi perubahan iklim akan membuat biaya penerbangan menjadi lebih mahal.

"Seiring waktu, hal itu akan membebani kita semua, tetapi ini adalah pendekatan yang tepat yang harus kita ambil," kata kepala eksekutif Delta Air Lines Ed Bastian, dikutip dari laman BBC, Senin (15/11/2021).

Menurut Badan Energi Internasional, penerbangan bertanggung jawab atas sekitar 2,5 persen dari emisi karbon yang menghangatkan Bumi.

Kritikus berpendapat cara terbaik untuk menguranginya adalah dengan melakukan penerbangan yang lebih sedikit.

Delta Air Lines yang berbasis di Atlanta, Amerika Serikat mengungkapkan bahwa setelah menghabiskan dana sebesar USD 30 juta per tahun untuk penyeimbangan karbon, menjadikannya netral karbon sejak Maret 2020.

Maskapai tersebut juga telah berjanji mengeluarkan dana sebesar USD 1 miliar selama dekade berikutnya untuk menghilangkan semua emisi yang diciptakannya.

Pesawat yang lebih hemat bahan bakar, bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan, dan menghilangkan karbon dari atmosfer adalah beberapa cara yang diharapkan untuk mencapai hal ini.

Diketahui bahwa mengurangi emisi karbon sangat penting jika dunia ingin membatasi pemanasan global hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri seperti yang disepakati dalam Kesepakatan Paris pada tahun 2015, dan telah menjadi fokus KTT perubahan iklim COP26 di Glasgow.

Andreas Schafer, profesor energi dan transportasi di University College London, menuturkan bahwa akan "dibutuhkan dana triliunan daripada miliaran dolar" untuk menggerakkan sektor penerbangan global ke nol emisi karbon bersih.

Hasil awal dari penelitian timnya menunjukkan bahwa harga tiket pesawat perlu dinaikkan 10-20 persen untuk menanggung biaya upaya tersebut.

"Dalam jangka pendek, dukungan pemerintah akan diperlukan dengan biaya tersebut karena dekarbonisasi penerbangan akan sangat menantang, dan upaya saat ini perlu ditingkatkan secara dramatis", kata Prof Schafer.

"Ini adalah tantangan jangka panjang terbesar yang dihadapi industri ini," kata Bastian.

"Kami berada dalam industri yang diklasifikasikan sebagai sulit untuk didekarbonisasi karena kami belum memiliki bahan bakar hayati atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) secara massal yang akan kami butuhkan," ungkapnya.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Permintaan global untuk Bahan Bakar Jet Akan Meningkat Pada 2050

[Fimela] Ilustrasi Pesawat
Ilustrasi di dalam pesawat | unsplash.com/@by_syeoni

Delta Air Lines berencana menggunakan 10 persen bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada akhir tahun 2030.

Banyak maskapai penerbangan dan perusahaan bahan bakar berinvestasi di SAF. Teknologi lain yang sedang dikembangkan melibatkan mengubah limbah makanan menjadi bahan bakar jet dan menggunakan karbon dioksida yang ditarik dari udara.

Namun, teknologi itu masih lebih mahal daripada bahan bakar jet tradisional dan jumlah yang dibutuhkan juga dianggap bermasalah.

Menurut pemerintah AS, permintaan global untuk bahan bakar jet akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050.

Jumlah penerbangan penumpang akan melonjak dari 4,5 miliar sebelum pandemi menjadi 10 miliar pada tahun 2050, menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA).

Direktur Jenderal IATA Willie Walsh mengatakan kepada BBC bahwa sementara menciptakan tingkat produksi SAF yang dibutuhkan merupakan tantangan besar, disebutkanna juga, "kemungkinannya besar jika industri dan pemerintah bekerja sama".

"Peningkatan produksi akan menurunkan biaya ke tingkat yang kompetitif. Kami telah melihat peningkatan serupa dalam pengembangan tenaga surya dan angin dalam beberapa dekade terakhir," papar Walsh.

Pada pertemuan puncak perubahan iklim COP26 di Glasgow, 23 negara telah berjanji untuk bekerja sama agar industri penerbangan mencapai emisi nol karbon bersih pada tahun 2050. Penggunaan energi yang lebih efisien, bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan, dan pesawat listrik adalah bagian dari ambisi mereka.

Di sisi lain, kelompok kampanye lingkungan Greenpeace meragukan rencana tersebut.

"Pengumuman ini penuh dengan penipuan seperti penyeimbangan, dan optimisme berlebihan pada apa yang disebut 'bahan bakar penerbangan berkelanjutan' dan desain pesawat masa depan," kata Klara Maria Schenk dari Greenpeace.

"Tapi itu tidak memiliki satu hal yang diperlukan untuk mencapai tujuan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius yang merupakan tindakan nyata untuk memprioritaskan perjalanan hijau dan mengurangi penerbangan," ujarnya.


Delta Air Lines: Jumlah Penerbangan Akan kembali ke Tingkat Pra-Pandemi.

Ilustrasi
Ilustrasi pesawat lepas landas. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Sementara banyak bisnis dan individu telah menggunakan pandemi sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kembali jejak karbon mereka, kepala eksekutif Delta Air Lines Ed Bastian menyebutkan bahwa jumlah penerbangan akan kembali ke tingkat pra-pandemi.

"Semua bentuk perjalanan sedang dalam perjalanan kembali. Keluarga adalah bagian dari masyarakat perjalanan yang paling kami senangi, karena ada beberapa cerita yang sangat sulit dari waktu ke waktu tentang keluarga yang tidak dapat terhubung untuk waktu yang lama," tuturnya.

Perjalanan bisnis juga kembali karena rapat secara daring tidak dapat menggantikan segalanya, menurut Bastian.

"Ada kesatuan nyata dan tujuan yang kita miliki ketika orang-orang kembali bersama secara langsung," imbuh Bastian.

Keinginan untuk bepergian itu membantu Delta Air Line melaporkan laba sebesar USD 194 juta dalam tiga bulan hingga akhir September 2021, yang merupakan laba pertamanya sejak pandemi dimulai.

Sebelum pandemi, Delta adalah maskapai penerbangan terbesar kedua di dunia, menerbangkan 200 juta penumpang pada 2019. Hingga September 2021, maskapai ini beroperasi pada 71 persen dari kapasitas pra-pandemi.

Pemulihan di pasar domestik AS adalah yang tercepat, dengan rute jarak jauh ke Asia paling lambat. Hal itu menggemakan pola yang terlihat dalam perkiraan baru-baru ini dari pembuat pesawat Boeing, yang memperkirakan pemulihan penuh penerbangan global akan memakan waktu hingga 2024.

Seperti maskapai penerbangan lain, Delta telah menerima miliaran dukungan dari pemerintah AS untuk melewati pandemi, tetapi juga berharap masa depan yang lebih cerahj karena sekarang AS telah membuka kembali perbatasannya untuk pelancong internasional.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya