Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memastikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 1,09 persen. Adapun kenaikan tersebut mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Namun sayangnya, kenaikan UMP 2022 tersebut langsung ditolak oleh para buruh. Mekanisme penghitungan hingga besaran kenaikan UMP, di mata buruh, tidak adil.
Baca Juga
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menyebut, kenaikan UMP dikisaran 1 persen sudah cukup memadai. Sebab, saat ini terpenting adalah bagaimana ekonomi bangkit kembali dan bisa menyerap banyak angkatan kerja.
Advertisement
"Dalam rangka pemulihan ekonomi tersebut menurut saya, dunia usaha jangan dibebani dulu dengan kenaikan UMP," kata dia saat dihubungi merdeka.com, seperti ditulis, Minggu (21/11/2021).
Tahun 2022 diharapkan menjadi tahun pemulihan ekonomi pasca terpuruk dikarenakan pandemi Covid-19. Dengan pulihnya ekonomi, maka diharapkan pengangguran bisa kembali dikurangi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut angka pengangguran mengalami penurunan dari 7,07 persen di 2020 menjadi 6,49 persen per Agustus 2021.
Per Agustus 2021, jumlah pengangguran sebanyak 9,10 juta orang, lebih rendah dari Agustus tahun lalu sebanyak 9,77 juta orang. Sementara pada tahun 2019 jumlah pengangguran tercatat 7,10 juta orang.
"Fokus kita adalah pemulihan dan membuka lapangan kerja sebanyak mungkin. Kenaikan UMP sebesar 1 persen menurut saya cukup memadai," ujarnya.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Risiko Hambat Daya Beli
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira punya pendapat lain. Dia mengatakan, kenaikan UMP sebesar 1 persen justru berisiko menghambat daya beli masyarakat. Apalagi sekarang ini daya beli masyarakat tengah berlangsung pulih.
"Penjualan ritel pasti akan terpengaruh," kata Bima saat dihubungi terpisah.
Bima mengatakan, kenaikan UMP 1 persen juga tidak menjamin pengurangan dan keterbukaan lapangan kerja itu semakin meningkat. Belum lagi kebijakan perpajakan pemerintah di tahun depan tidak berpihak kepada para pekerja.
"Tahun depan ada penyesuaian PPN naik dari 10 sampai 11 persen kebijakan perpajakan nya kan juga tidak mengakomodasi kepentingan daripada pekerja. Ini menurut saya cukup berisiko menghambat daya beli masyarakat," jelas Bima.
Di sisi lain, kenaikan UMP sebesar 1 persen juga dianggap tidak logis. Mengingat proyeksi inflasi pada 2022 berada di atas 3-4 persen. Akibatnya, para pekerja rentan bakal tergerus oleh inflasi, sehingga menyebabkan pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga terhambat.
"Setidaknya naik di atas inflasi plus pertumbuhan ekonomi. Tujuannya adalah agar masyarakat memiliki uang lebih untuk dibelanjakan. Ujungnya yang akan diuntungkan adalah pelaku usaha juga kan begitu logikanya," ujarnya.
Reporter:Â Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement