Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-undang Cipta Kerja, dinilai tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian, investasi, dan pelaku usaha.
“Relatif tidak ada dampaknya yang serius karena permasalahannya hanya untuk merevisi dari UU pembentukan dari UU Cipta Kerja yaitu UU 12 2011. Jadi insyaallah tidak ada dampak serius,” Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, dalam konferensi pers, Jumat (26/11/2021).
Justru yang dia khawatirkan, dengan adanya putusan MK yang meminta Pemerintah merevisi UU Cipta Kerja akan menimbulkan persepsi yang multitafsir di kalangan masyarakat, dan terhadap investor luar negeri.
Advertisement
“Ini juga perlu kami sampaikan karena khawatir ada persepsi yang terlalu multitafsir baik di dalam maupun luar negeri yang justru akan menurunkan minat orang mau investasi di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Haryadi, timbulnya berbagai persepsi ini dapat menggiring opini publik. Salah satunya ada pendapat yang menyebut UU Cipta Kerja itu telah diputuskan cacat formil oleh MK.
“Menurut saya ini sangat serius karena dimaknai oleh beberapa pendapat-pendapat yang muncul dari kemarin hingga saat ini, salah satunya menyampaikan bahwa kalau UU Ciptaker ini sudah diputuskan cacat formil oleh MK bagaimana isinya tidak cacat,” ungkap Haryadi.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Poin UU Cipta Kerja yang Harus Diubah dalam 2 Tahun
Kuasa Hukum Buruh yang menggugat uji formil terhadap undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) membeberkan poin yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diubah. Buruh juga menyimpulkan, jika target tersebut tak dicapai, UU Cipta Kerja tak akan berlaku secara permanen.
Kuasa Hukum Buruh, Said Salahudin merinci poin yang harus diubah mengacu keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Awalnya, kata dia, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja merupakan inkonstitusional.
Dasar pertimbangannya, karena adanya hukum yang tumpang tindih dalam mendorong upaya pemerintah untuk menarik investasi ke dalam negeri. Melirik hal itu, MK juga memberi syarat bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan aturan pembentukan undang-undang dalam kurun waktu dua tahun.
“Perbaikan apa yang dimaksud oleh MK? Jawabannya adalah pembentuk undang-undang harus terlebih dahulu memiliki landasan hukum untuk bentuk omnibus law. Dengan kata lain, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” katanya dalam Konferensi Pers, Jumat (26/11/2021).
Kemudian, setelah landasan hukum yang tercantum dalam UU 12 tahun 2011 itu direvisi, baru bisa membentuk UU Cipta Kerja. Tujuannya, adanya keselarasan antara landasan aturan dan undang-undang yang dibuat. Alasannya, hingga saat ini tidak ada yang mengatur pembentukan undang-undang dengan model Omnibus Law atau penggabungan.
“Bukan artinya mulai dari UU Ciptaker dulu. Ubah dulu undang-undang P3, kalau diuji kembali UU P3 ini dan dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar, dengan sendirinya UU Cipta Kerja tak bisa dibentuk ulang karena proses pembentukannya belum dimuat dalam revisi uu P3, misalnya itu (uu P3) digugat untuk diuji,” tuturnya.
Advertisement