Sri Mulyani Perkirakan Defisit APBN 2021 di Bawah 5,7 Persen

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini berdampak positif kepada angka defisit APBN.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Des 2021, 11:50 WIB
Diterbitkan 16 Des 2021, 11:50 WIB
DPR Setujui RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers usai rapat paripurna DPR Ke-10 masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Senayan, Jakarta, Selasa (7/12/2021). DPR menyetujui atas RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini berdampak positif kepada angka defisit APBN tahun 2021. Realisasi angka defisit APBN lebih rendah dari prediksi.  

Sri Mulyani menjelaskan, Kementerian Keuangan menargetkan angka defisit APBN yakni 5,7 persen. Namun kemungkinan besar realisasi akan di bawah target tersebut.

"Defisitnya sekitar 5,1 persen sampai 5,4 persen, jauh lebih rendah dari rencana sebelumnya," kata Sri Mulyani dalam pidato World Bank Indonesia Economic Prospecits Report, Kamis (16/12/2021).

Kondisi ini terjadi karena pemulihan ekonomi nasional berjalan lebih cepat dan kuat dari yang diperkirakan. Selain itu pendapatan negara juga lebih kuat dan sebagai dampak dari naiknya harga komoditas.

"Ini karena pemulihan yang kuat, pendapatan negara kuat dan boom komoditas," kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Target 2022

Penurunan defisit fiskal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk kembali menyehatkan APBN. Sekaligus untuk mengembalikan defist fiskal dibawah 3 persen pada 2023.

Tahun depan, defist fiskal dalam UU APBN 2022 juga telah dirancang mendekati 4,8 persen terhadap PDB. Sri Mulyani mengatakan realisasi ini bisa lebih rendah dari yang direncakan karena belum mempertimbangkan berbagai reformasi kebijakan struktural. Antara lain penerapan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) yang baru disahkan beberapa waktu lalu.

"Desain ini belum mempertimbangkan reformasi struktural," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya