Tertinggi dalam Sejarah, Harga Cangkang Sawit Tembus USD 118 per Ton

Jepang saat ini merupakan pangsa pasar terbesar bagi cangkang sawit Indonesia dan diperkirakan akan terus menjadi pasar utama untuk komoditas tersebut.

oleh Achmad Sudarno diperbarui 29 Mar 2022, 11:15 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2022, 11:15 WIB
Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja menurunkan cangkang kelapa sawit dari gerobak dorong di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta - Tak hanya crude palm oil (CPO) yang harganya melambung, cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar alternatif juga diburu sektor industri dari berbagai negara di dunia.

Pada 2021, harga komoditas ini berkisar 95 dolar AS sampai USD 105 per ton free on board (FOB). Tahun ini, naik dikisaran USD 118.

"Tahun ini harga cangkang sawit merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Harga indeks cangkang sawit USD 118," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) Indonesia, Dikki Akhmar usai Diskusi Publik APCASI di Bogor, Senin (28/3/2022).

Dikki menjelaskan, kenaikan harga cangkang kelapa sawit seiring dengan peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (renewable energy) dalam program bauran energi di beberapa negara di dunia.

"Harga (cangkang sawit) saat ini naik sekali, karena kan kebutuhan energi dunia semakin besar," kata Dikki.

Jepang saat ini merupakan pangsa pasar terbesar bagi cangkang sawit Indonesia dan diperkirakan akan terus menjadi pasar utama untuk komoditas tersebut.

"Kebutuhan (cangkang sawit) sudah 3,5 juta ton. Tiap tahun kebutuhan dia (Jepang) sampai berjuta-juta ton, bahkan tahun 2022 diprediksi sampai 6,2 ton," kata dia.

Hal itu disebabkan oleh kebijakan energi Jepang yang menetapkan 24 persen pemenuhan energi di Jepang pada 2030 harus berasal dari energi baru dan terbarukan.

"Ya karena setiap tahun makin banyak membangun power plan yang berbasis bio energi, biomassa dan 70-100 persen bahan bakunya menggunakan cangkang sawit," kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Negara Lain

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja mengangkut cangkang sawit di atas rakit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Selain Jepang, pasar eskpor cangkang sawit lainnya adalah Thailand, Taiwan, Korea Selatan, dan China. Bahkan, cangkang sawit Indonesia jadi rebutan oleh banyak negara karena kualitas yang baik. Sementara negara lain yang juga pengekspor cangkang sawit seperti Malaysia memiliki karakteristik yang tipis.

"Iya betul (jadi rebutan). Di Eropa sekarang lagi krisis biomassa. Selama ini mereka lebih banyak menggunakan wood pellet. Kemudian ada kebijakan 30 persen harus menggunakan cangkang sawit," terangnya.

Akan tetapi, karena biaya pengirimannya jauh lebih tinggi sehingga negara-negara di Eropa tidak membeli cangkang sawit dari Indonesia.

"Dia bawa cangkang dari Indonesia misalnya 35 ribu ton. Perjalanan menuju Eropa 40 hari. Maka dia juga harus mempertimbangkan logistic cost-nya juga," terangnya.

 

Pasokan Terbatas

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Ia menambahkan, meskipun permintaan pasar internasional terhadap limbah kelapa sawit cukup tinggi, tapi hingga kini Indonesia belum bisa mengekspor komoditas tersebut karena keterbatasan pasokan.

"Masih jauh sekali, ketersediaan produksi cangkang kita baru 2,5 juta ton per tahun. Peluang kita bisa ekspor sampai 3,5-4 juta ton," ujar dia.

Ada beberapa kendala yang membuat ekspor cangkang sawit belum dapat meningkat, di antaranya adalah tidak menunjangnya infrastruktur jalan dan perizinan. Ia mengungkapkan, para petani selama ini kesulitan untuk menjangkau daerah pelosok perkebunan sawit.

"Risikonya tinggi juga. Ngambil cangkang di tengah kebun sawit, di pelosok. Beruntung kalau truknya nyampe, kadang-kadang terbalik di tengah jalan. Ya sekarang akhirnya banyak yang jadi limbah, tak termanfaatkan," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya