Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mengatakan terjadinya inflasi di Amerika Serikat membuat negara-negara emerging market, termasuk Indonesia mengalami tekanan.
Diketahui inflasi tahunan di Amerika Serikat pada Juni naik menjadi 9,1 persen atau kenaikan tertinggi dalam lebih dari empat dekade. Menurut Suahasil, kondisi tersebut bukan suatu kondisi yang sederhana, melainkan memiliki dampak yang luar biasa terhadap ekonomi negara lain.
Baca Juga
“Di Amerika 9,1 persen inflasi, itu bukan sesuatu yang simpel bukan sesuatu yang terjadi sering, bahkan dia terjadi dalam kondisi yang sangat sangat jarang sekali,” kata Suahasil dalam Mid Year 2022, Economic Outlook 2022, Selasa (2/8/2022).
Advertisement
Hal itu menimbulkan respons dari kebijakan di Amerika Serikat dan di Eropa serta belahan dunia lain yaitu peningkatan suku bunga. Jika di Amerika Serikat terjadi peningkatan suhu bunga maka berdampak kepada negara-negara emerging market seperti Indonesia yang akan menghadapi tekanan.
“Tekanan dari kapital yang bergerak. Ini harus kita tangani, maka terjadi disrupsi sisi supply dan disrupsi sisi supply inilah yang membuat inflasi tadi meningkat,” ujarnya.
Wamenkeu mengatakan, saat ini kondisi ekonomi yang kita hadapi resikonya terus bergeser. Pada 2 tahun resiko utama ekonomi seluruh dunia adalah akibat pandemi covid-19 yang menular, meskipun saat ini memang masih ada, tapi terkendali. Sebab virus covid-19 tidak sefatal varian Delta.
Perang Rusia-Ukraina
Kemudian, di awal tahun 2022 yakni Februari, terjadi perang Rusia dan Ukraina yang meningkatkan tekanan global selain inflasi. Perang kedua negara tersebut, berpengaruh kepada harga komoditas yang fluktuatif, kadang naik kadang turun.
“Jadi volatilitas global Yang tadi kita perkirakan memang pasti akan meningkat tekanan Global yang pasti akan meningkat karena peningkatan inflasi ini ditambah lagi kondisi geopolitik. Dan kita lihat hasilnya di beberapa harga komoditas ini kemudian bergerak dengan sangat cepat,” ujarnya.
Misalnya, harga Crude Palm Oil (CPO) sempat naik USD 1.800 per ton, dan sekarang turun menuju angka USD 900 per ton. Sama halnya dengan komoditas lainnya seperti gandum, minyak, batubara, gas, dan sebagainya.
“Ini volatilitas harga yang harus kita tangani dengan sangat berhati-hati. Mengenai pangan mengenai energi, ini memang yang kita hadapi karena gejolak harga yang cukup fluktuatif di pasar dunia,” ujarnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Ekonomi RI Masih Kuat
Kendati begitu, meskipun Indonesia juga terdampak, tapi kondisi fundamental ekonominya masih kuat dibanding negara lain. Hal itu tercermin dari tingkat inflasi yang dialami sejumlah negara.
Misalnya, Australia inflasinya diangka 5,1 persen, kemudian negara Argentina dan Turki inflasinya diatas 76 persen. Artinya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.
“Inflasi ini akan meningkat angka Indonesia ada di 4,44 persen bulan Juni dan kemarin Badan Pusat Statistik baru mengeluarkan angka 4,9 persen. Jadi, posisi kita belum terlalu berubah karena Australia yang lebih sedikit lebih tinggi dari kita ada di 5,1 persen. Negara-negara lain banyak sekali yang menghadapi inflasi yang lebih tinggi jauh lebih tinggi dari Indonesia,” pungkasnya.