Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan per Juli secara gross naik menjadi level 7,10 persen.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, pihak otoritas tetap mewaspadai simpul-simpul risiko yang dapat mempengaruhi kinerja industri jasa keuangan.
Baca Juga
Terutama disebabkan pelemahan ekonomi dan ketidakpastian pasar keuangan global yang akan masih tinggi ke depannya.
Advertisement
"Kami juga mencermati sedikit kenaikan rasio NPL untuk kredit restrukturisasi Covid-19 dari 6,44 persen pada Juni 2022 menjadi 7,10 persen pada Juli 2022," terang Mahendra dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner OJK di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Sehubungan dengan hal tersebut, ia melanjutkan, OJK mengevaluasi berbagai alternatif kebijakan yang diperlukan. Khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang dinilai sampai saat ini masih perlu dibantu untuk melanjutkan pemulihan.
"Termasuk dalam hal ini adalah dukungan kepada UMKM maupun daerah tertentu," imbuh Mahendra.
Â
Â
Bantu Saat PMK Merebak
Mahendra mencontohkan, OJK telah menerbitkan guidance dari sisi perkreditan/pembiayaan perbankan untuk membantu Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Sapi, melalui kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan untuk mendukung debitur yang terkena dampak wabah penyakit pada sapi tersebut.
Diantaranya, kualitas kredit/pembiayaan restrukturisasi dapat ditetapkan lancar. Lalu, jangka waktu restrukturisasi kredit/pembiayaan dapat melebihi masa berlakunya kebijakan ini sepanjang sesuai perjanjian restrukturisasi.
Kemudian, penilaian kualitas kredit/pembiayaan lain untuk plafon hingga Rp 10 miliar dapat hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok/bunga. Bank juga dapat memberikan kredit/pembiayaan lain baru kepada debitur terdampak.
"Ketentuan ini berlaku sesuai masa penetapan pemberlakuan status keadaan tertentu darurat PMK oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dapat dievaluasi kembali," pungkas Mahendra.
Â
Â
Â
Advertisement
Masalah Kredit Macet Bisa Dituntut ke Pengadilan?
Chairman Law Firm Lucas SH & Partners, Lucas menilai kredit macet bisa dipidana dan dituntut ke pengadilan. Dia menuturkan, utang dan pinjaman harus dapat dikembalikan dengan tepat waktu, terkecuali dalam proses utang dan pinjaman ada kesepakatan lain.
"Utang harus dilunasi, pinjaman harus segera dikembalikan dengan tepat waktu, kecuali ada kesepakatan lain. Jangan sampai ada kesan utang tidak perlu dibayar karena debitur tidak dapat dipidanakan," katanya dikutip dari Antara, Kamis (18/2/2022).
"Dalam keadaan tertentu apabila pinjaman diberikan atas dasar adanya unsur penipuan (rangkaian kata-kata bohong) dan/atau adanya pemalsuan dan/atau penyimpangan, debitur tersebut dapat dilaporkan pidana,"Â lanjutnya.
Ia mencontohkan permohonan pinjaman untuk kepentingan A, ternyata faktanya malah untuk kepentingan B. Selanjutnya. laporan keuangan yang diberikan adalah laporan keuangan palsu dan pembayaran utang menggunakan cek kosong.
Apabila pinjaman tersebut didasarkan dengan dokumen yang tidak benar dan debitur tersebut tidak dapat bayar utang, menurut dia, masalah ini masuk ke ranah pidana.
"Namun, apabila pinjaman tersebut atas dasar dokumen-dokumen yang benar dan debitur tersebut tidak dapat membayar utang karena murni masalah ekonomi, masalah ini masuk ke dalam ranah perdata," kata Lucas.
Awas, Potensi Lonjakan Kredit Macet Menghantui Industri Fintech
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK, Riswinandi mengingatkan jasa pinjaman online atau fintech mengenai potensi risiko akibat krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini pada berbagai segmen ekonomi.
Salah satu risiko utama yang harus dihadapi dan ditangani dengan benar terkait dengan risiko kredit.
"Pada kasus ini, eksposur risiko kredit berpotensi meningkat sehubungan dengan memburuknya kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran kreditnya," ujar Riswandi dalam diskusi virtual, Jakarta, Senin (9/3).
Salah satu tanda peringatan dari meningkatnya eksposur risiko kredit adalah tingkat penurunan pembayaran kredit dalam waktu 90 hari, dari 96,35 persen pada Desember 2019 menjadi 95,22 persen pada Desember 2020.
"Oleh karena itu, kami ingin mendorong pelaku industri untuk mengantisipasi risiko tersebut dengan menerapkan strategi mitigasi risiko yang komprehensif," jelas Riswinandi.
Salah satu opsi yang layak untuk memitigasi risiko kredit, kata Riswinandi, yaitu pemanfaatan asuransi dan penjaminan mekanisme untuk melindungi pemberi pinjaman dari kemungkinan default kredit.
"Kami yakin bahwa pemain industri yang inisiatif untuk memitigasi risiko kredit dengan baik, akan dapat menjadi sebuah nilai tambah penting bagi pemberi pinjaman untuk berinvestasi di platform fintech lending," tandasnya.
Advertisement