Indonesia Butuh Investasi hingga Rp 77.000 Triliun Capai Emisi Nol Persen

Pembiayaan hijau juga berperan penting dalam mendukung transformasi ekonomi hijau di Indonesia.

oleh Tira Santia diperbarui 22 Sep 2022, 09:31 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2022, 09:31 WIB
Jokowi Resmikan PLTA Poso dan PLTA Malea
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (25/2/2022). Pengoperasian PLTA Poso dan PLTA Malea mendukung pencapaian target energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 dan net zero emission 2060. (Dok PLN)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memperkirakan Indonesia membutuhkan investasi hingga tahun 2060 sebesar Rp 77.000 triliun untuk mencapai berbagai target mencapai emisi nol persen (net-zero emmissions) di tahun 2060.

Dia menegaskan energi alternatif atau renewable energy memiliki cost competitive yang setara sekaligus dapat menjaga baseload yang diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi.

Menko Airlangga menjelaskan, strategi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan telah diwujudkan dalam berbagai upaya Pemerintah yang diantaranya melalui komitmen mencapai net-zero emissions di tahun 2060 atau lebih cepat.

Lewat hal tersebut, ekonomi hijau dapat diharapkan menjadi mainstream dari kebijakan Pemerintah.

Pembiayaan hijau juga berperan penting dalam mendukung transformasi ekonomi hijau di Indonesia. Terkait pembiayaan hijau tersebut, Menko Airlangga menjelaskan, Pemerintah mendorong berbagai instrumen antara lain Green Sukuk dan juga beberapa pemanfaatan dari refinancing Green Sukuk dengan pengembangan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro.

“Instrumen alternatif seperti blended finance juga disiapkan, terutama skema pembiayaan dengan menampung dana dari filantropi atau swasta serta dari berbagai lembaga pengelola dana multinasional ataupun perencanaan seperti ADB atau World Bank. Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup juga telah didirikan untuk membantu pembiayaan pada program ekonomi hijau,” kata Menko Airlangga, Kamis (22/9/2022).

Lebih lanjut, Menko Airlangga juga menjelaskan beberapa program EBT di Indonesia dibantu dari pembiayaan lembaga-lembaga yang berbentuk Development Finance Institution (DFI) dan Export Credit Agency (ECA).

Di sisi lain, koordinasi dan integrasi menjadi penting dalam melakukan transformasi ekonomi hijau karena transformasi tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh stakeholder.

“Negara-negara lain tengah berlomba untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau, termasuk Indonesia. Ke depan, pangsa bahan bakar fosil akan berkurang dan energi bersih akan meningkat. Tentunya ini akan kita dorong untuk memperbaiki bauran energi,” pungkas Menko Airlangga.

 

Di Sidang PBB, Indonesia Bakal Bantu Atasi Krisis Pangan, Energi dan Keuangan Dunia

Sesmenko Susiwijono selaku Sherpa GCRG Indonesia.
Sesmenko Susiwijono selaku Sherpa GCRG Indonesia.

Pertemuan Sesi ke-77 Sidang Umum PBB (The 77th Session of the UN General Assembly) akan dibuka pada hari Selasa tanggal 20 September 2022, dengan mengambil tema: “A watershed moment: transformative solutions to interlocking challenges.”  

Salah satu Agenda Sampingan (Side Events) dari Sidang Umum PBB tersebut adalah pertemuan dari para Champions GCRG (Global Crisis Response Group) atau GCRG Roundtable pada rangkaian acara UN General Assembly High-Level Week. Untuk melakukan persiapan bahan pembahasan pada acara tersebut, dilakukan pertemuan di tingkat Sherpa GCRG.

Pertemuan ke-3 Sherpa GCRG, telah berlangsung pada hari Jumat tanggal 16 September 2022 mulai pukul 22.00 WIB secara virtual. Pertemuan dipimpin oleh Deputi Sekretaris Jenderal PBB, Amina J. Mohammed yang dihadiri oleh seluruh Sherpa GCRG, dan dari Indonesia dihadiri langsung oleh Sesmenko Perekonomian, Susiwijono selaku Sherpa Indonesia di GCRG.

Pertemuan Sherpa ini dimaksudkan untuk membahas persiapan teknis Roundtable GCRG yang merupakan pertemuan Champions (tingkat Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan) GCRG, yang akan diadakan pada tanggal 21 September di New York, Amerika Serikat. Pertemuan tersebut juga merupakan agenda sampingan (side events) dari Sidang Majelis Umum PBB ke-77.

“Pada Sidang Majelis Umum PBB terdapat dua agenda sampingan yakni Roundtable GCRG dan pertemuan terkait Climate Change,” ujar Deputi Sekjen PBB Amina.

Deputi Sekjen PBB Amina Mohammed menginformasikan bahwa Champions GCRG yang akan hadir adalah PM Barbados, PM Bangladesh, Kanselir Jerman, dan Presiden Senegal. Sedangkan Presiden RI dan PM Denmark tidak hadir dalam pertemuan tersebut.

 

Sri Mulyani: Dampak Perubahan Iklim pada Ekonomi Lebih Buruk dari Covid-19

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ancaman nyata pada ekonomi dunia yang lebih buruk dari pandemi Covid-19, yaitu perubahan iklim.

Hal itu Menkeu sampaikan dalam acara HSBC Summit 2022 'Powering the Transition To Net Zero' yang disiarkan secara virtual, Rabu (14/9/2022).

"Perubahan Iklim merupakan permasalahan global yang nyata dan bisa menjangkau aspek sosial, ekonomi, dan bahkan dampaknya bisa lebih signifikan daripada pandemi Covid-19," ujar Sri Mulyani, dikutip Kamis (15/9/2022). 

Sri Mulyani memaparkan riset yang diterbitkan oleh Swiss Re Institute pada tahun 2021, yang mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat membuat dunia kehilangan lebih dari 10 persen nilai ekonominya, apabila kesepakatan Paris pada target emisi 2050 tidak terpenuhi.

Bahkan, dampak perubahan iklim juga bisa menyebabkan krisis finansial hingga penurunan kekayaan hingga Produk Domestik Bruto.

"Bahkan, tekanan inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan nasional dan internasional akibat bencana seperti banjir, badai, dan kekeringan yang berpotensi mengakibatkan kerugian besar secara finansial," jelas Sri Mulyani. 

Selain itu, diperkirakan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim berada di sekitar. 0,62 - 3,45 persen dari PDB pada tahun 2030.

"Jadi dokumen kebijakan pembangunan tangguh iklim menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat krisis iklim akan mencapai Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023, yaitu tahun depan," beber Sri Mulyani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya