5 Penyebab Ekonomi China Melambat, Mulai dari Covid-19 hingga Perubahan Iklim

Berikut adalah faktor-faktor yang mendorong perlambatan pada ekonomi China, mulai dari kebijakan nol-Covid-19 hingga perubahan iklim.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 05 Okt 2022, 17:40 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2022, 17:40 WIB
Khawatir Lockdown COVID-19, Warga Beijing Serbu Supermarket
Orang-orang mengantre di luar supermarket untuk membeli persediaan makanan di Beijing pada 25 April 2022. Kekhawatiran penguncian Covid memicu pembelian panik dan antrean panjang untuk pengujian massal di Beijing pada 25 April ketika otoritas China bergegas untuk membasmi wabah di ibu kota. (AFP/Noel Celis)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi China mengalami perlambatan ketika kebijakan nol-Covid-19 belum menunjukkan pelonggaran, mendorong penurunan permintaan global. Kekhawatiran resesi global pun semakin meningkat, jika negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu berkontraksi.

China mungkin tidak sedang berjuang meredam inflasi yang tajam seperti AS dan Inggris, tetapi negara itu juga menghadapi masalah lain, salah satunya penutupan pabrik karena pembatasan Covid-19, membuat permintaan konsumen baik di dalam negeri maupun internasional terhambat.

Berikut adalah faktor-faktor yang mendorong perlambatan pada ekonomi China, seperti dilansir dari laman BBC, Rabu (5/10/2022) :

1. Kebijakan nol-Covid-19

Wabah baru Covid-19 di beberapa kota di China, termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin, telah mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai industri negara itu.

Karena ketatnya kebijakan nol-Covid-19, masyarakat juga tidak bisa melakukan pengeluaran untuk makanan dan minuman, ritel atau pariwisata, menempatkan layanan utama di bawah tekanan.

Sementara di sektor manufaktur, aktivitas pabrik di China tampaknya sudah naik kembali pada September 2022, menurut Biro Statistik Nasional China.

Rebound bisa jadi karena pemerintah lebih banyak melakukan belanja infrastruktur.

"Tak akan ada manfaat dari memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau masyarakat tidak dapat membelanjakan uangnya," ujar Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings.

2. Masih diperlukan lebih banyak bantuan pemerintah

Beijing pada bulan Agustus mengumumkan rencana pengeluaran dana bantuan senilai 1 triliun yuan untuk meningkatkan usaha kecil, infrastruktur dan real estat.

Tetapi ekonom S&P Global Ratings menilai China bisa mengeluarkan lebih banyak upaya memicu pengeluaran untuk memenuhi target pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.

Hal ini termasuk lebih banyak berinvestasi di infrastruktur, meringankan persyaratan pinjaman untuk pembeli rumah, pengembang properti dan pemerintah daerah, dan keringanan pajak untuk rumah tangga.

"Respon pemerintah terhadap pelemahan ekonomi cukup sederhana dibandingkan dengan apa yang telah kita lihat selama pelemahan ekonomi sebelumnya," kata Kuijs.

3. Pasar Properti China dalam Krisis

FOTO: China Tutup Distrik Perbelanjaan dan Kehidupan Malam di Beijing
Warga makan di tangga sebuah restoran cepat saji yang tutup di Beijing, China, 15 Juni 2022. Otoritas China di Beijing menutup distrik perbelanjaan dan kehidupan malam utama menyusul lonjakan kasus COVID-19 terkait klub malam. (AP Photo/Ng Han Guan)

Lemahnya aktivitas real estate dan sentimen negatif di sektor perumahan menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi China. 

Masalah ini telah memukul ekonomi dengan keras karena properti dan industri lain yang berkontribusi menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

"Ketika kepercayaan lemah di pasar perumahan, HAL itu membuat orang merasa tidak yakin tentang situasi ekonomi secara keseluruhan," kata Kuijs.

Pembeli rumah di China  telah menolak untuk melakukan pembayaran hipotek pada bangunan yang belum selesai dan beberapa mengungkapkan ragu pembangunan rumah mereka akan selesai.

Permintaan untuk rumah baru juga menurun dan telah mengurangi kebutuhan impor komoditas yang digunakan dalam konstruksi.

Terlepas dari upaya Beijing untuk menopang pasar real estat, harga rumah di puluhan kota di China juga menurun lebih dari 20 persen tahun ini.

4. Perubahan Iklim

Kota Terlarang di Beijing Kembali Dikunjungi Wisatawan
Seorang perempuan mengendarai sepedanya dengan seorang anak duduk di kursi belakang melewati Kota Terlarang di Beijing, China, Selasa (7/6/2022). Pemerintah melonggarkan beberapa pembatasan Covid-19 dengan sebagian besar museum gedung bioskop, dan pusat kebugaran diizinkan beroperasi hingga 75 persen dari kapasitas. (WANG Zhao / AFP)

Cuaca ekstrem mulai menimbulkan dampak jangka panjang pada industri di China.

Gelombang panas yang parah, diikuti oleh kekeringan, melanda provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing pada Agustus 2022.

Permintaan AC yang melonjak mendorong jaringan listrik di wilayah yang hampir seluruhnya bergantung pada tenaga air.

Pabrik-pabrik, termasuk produsen besar seperti pembuat iPhone Foxconn dan Tesla, pun terpaksa memangkas jam kerja atau bahkan tutup.

Biro Statistik China mengatakan pada Agustus 2022 bahwa keuntungan di industri besi dan baja turun lebih dari 80 persen dalam tujuh bulan pertama tahun 2022, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Masalah ini mendorong pemerintah China mengeluarkan dana hingga puluhan miliar dolar untuk mendukung perusahaan energi dan petani.

5. Raksasa Teknologi China Kehilangan Investor

Kantor Alibaba Group di Hangzhou, Tiongkok.
Kantor Alibaba Group di Hangzhou, Tiongkok. (Liputan6.com/Sunariyah)

Regulasi terhadap raksasa teknologi China, yang telah berlangsung dua tahun mendorong penurunan pada sektor tersebut.

Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka di kuartal terakhir - laba Tencent turun 50 persen, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya.

Puluhan ribu pekerja muda juga kehilangan pekerjaan, hal ini menambah krisis pekerjaan di mana satu dari lima orang berusia 16 hingga 24 tahun dalam kondisi pengangguran.

 

Softbank Jepang telah menarik sejumlah besar uang tunai mereka dari Alibaba, sementara Berkshire Hathaway dari Warren Buffet juga menjual sahamnya di pembuat kendaraan listrik BYD.

Tencent juga menarik investasi senilai lebih dari USD 7 miliar pada paruh kedua tahun ini.

"Beberapa keputusan investasi sedang ditunda, dan beberapa perusahaan asing berusaha untuk memperluas produksi di negara lain," kata S&P Global Ratings dalam catatan baru-baru ini.

Infografis 12 Cara Sehat Hadapi Stres Era Pandemi Covid-19
Infografis 12 Cara Sehat Hadapi Stres Era Pandemi Covid-19 (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya