Sri Mulyani: Butuh Rp 4.200 Triliun Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah memiliki komitmen kuat guna menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang dibuktikan dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC).

oleh Tira Santia diperbarui 30 Mar 2023, 11:30 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2023, 11:30 WIB
Pegunungan Es Antartika
Kondisi Es Biru di sepanjang punggung bukit di Semenanjung Antartika (31/10). Berbagai riset mengatakan fenomena ini disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti emisi dari gas rumah kaca. (Mario Tama/Getty Images/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah memiliki komitmen kuat guna menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang dibuktikan dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC).

"Indonesia belum lama ini juga telah menyerahkan Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Penyerahan NDC tersebut dalam rangka untuk menetapkan komitmen yang telah dicanangkan oleh setiap negara guna mengurangi emisi CO2, dan dalam Paris agreement ini juga telah dituangkan," kata Menkeu dalam Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imaging a Net Zero ASEAN, di Bali, Kamis (30/3/2023).

Menurut Menkeu, dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama. Sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024.

Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Kemudian, target tersebut ditingkatkan menjadi 31,8 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Pembiayaan Iklim

Namun, sebagaimana yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk mencapai komitmen tersebut, pembiayaan menjadi instrumen yang sangat penting. Adapun berdasarkan estimasi, total pembiayaan iklim yang dibutuhkan dalam E-NDC mencapai Rp 4.200 triliun.

"Tidak bisa ada komitmen tanpa ada sumber daya pendukungnya, dan berdasarkan estimasi yang berdasarkan total pembiayaan iklim yang dibutuhkan E-NDC mencapai Rp 4.200 triliun, mungkin kalau saya sebut dalam rupiah yaitu sekitar USD 281 miliar hingga 2030," kata Sri Mulyani.

 

Undang Investasi

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam acara High-Level Dalogue on Promoting Digital Financial Iinclusion and Literacy For MSMEs yang digelar Kementerian Keuangan pada Rabu (29/3/2023). Dia mengingatkan risiko yang perlu diperhatikan dalam mengelola perlindungan data bagi UMKM, di tengah meningkatnya digitalisasi.

Oleh karena itu, melalui forum Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imaging a Net Zero ASEAN ini diharapkan bisa mengundang investasi dari berbagai pihak, baik dari Pemerintah setiap negara maupun pihak swasta.

Menurut Sri, sangatlah penting untuk bisa merancang suatu kerangka kebijakan dan peraturan yang tepat maupun iklim investasi yang yang cocok agar bisa lebih banyak lagi mengundang partisipasi investasi swasta maupun internasional.

"Jadi, di sini juga kita akan mengundang banyak filantropi untuk berpartisipasi dalam hal ini," ujarnya.

Lebih lanjut, Menkeu menyampaikan, sejauh ini Pemerintah Indonesia telah menerbitkan beberapa insentif fiskal maupun melakukan inovasi pembiayaan untuk bisa mewujudkan net zero emission, dan menciptakan dana yang dibutuhkan untuk investasi di proyek-proyek hijau atau ramah lingkungan, diantaranya insentif ini termasuk dalam penggunaan tax holiday, tax allowance, fasilitasi PPN dan bea impor.

"Jadi, kami juga menciptakan berbagai instrumen yang termasuk penerbitan sukuk hijau dan juga obligasi hijau di tingkat domestik maupun internasional, dan kami harapkan bahwa obligasi hijau maupun SDGs Kami akan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan ini perlu didukung dengan kerangka peraturan yang konsisten," pungkasnya.

Gunakan Pestisida, Pertanian Sumbang 29 Persen Emisi Gas Rumah Kaca Dunia

Ilustrasi Pestisida (iStock)
Ilustrasi Pestisida (iStock)

Pandawa Agri Indonesia (PAI), satu-satunya perusahaan dengan inovasi berupa reduktan pestisida, menghadirkan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) bertajuk Akselerasi Pertanian Berkelanjutan (Accelerating Sustainable Agriculture).

Laporan ini memuat kinerja PAI dalam menjalankan prinsip-prinsip Environmental, Social, dan Governance (ESG) selama tahun 2022 dalam rangka mempercepat transisi pertanian Indonesia menjadi sektor yang lebih berkelanjutan.

PAI mengedepankan komitmen 3 PRO yaitu Protecting the Environment atau menjaga kelestarian lingkungan, Prospering the People atau menyejahterakan masyarakat dan karyawan, dan Promoting Responsible Business atau menjalankan bisnis secara bertanggung jawab.

Dalam Sustainability Report perusahaan, PAI mencatat kontribusinya dalam mengurangi lebih dari 1,5 juta liter penggunaan pestisida di lebih dari 2 juta hektar lahan perkebunan di Indonesia dan Malaysia. Dari angka ini, lebih dari 16.500 pekerja semprot dan petani telah terhindar dari paparan berlebih bahan kimia berbahaya yang berasal dari pestisida.

“Agrikultur merupakan salah satu sektor terbesar di Indonesia dan berperan penting dalam krisis iklim yang terjadi karena menghasilkan 19-29 persen emisi Gas Rumah Kaca secara global. Pengurangan penggunaan pestisida dengan reduktan yang kami lakukan ini telah berkontribusi dalam mengurangi hampir 5.000 ton emisi karbon dioksida. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk dapat mengurangi emisi karbon sebanyak 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional di tahun 2030 mendatang,” kata CEO Pandawa Agri Indonesia Kukuh Roxa di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Selain menciptakan terobosan reduktan, PAI juga mengembangkan ekosistem petani swadaya (smallholders) untuk semakin mendorong terciptanya sektor pertanian yang berkelanjutan.

“Kami membentuk ekosistem petani yang end-to-end: di hulu kami memfasilitasi petani dengan teknologi PPAI dan di hilir kami mendampingi petani dengan manajemen pasca panen yang terintegrasi. Saat ini PAI telah mengembangkan ekosistem petani padi di Nagekeo, petani kopi di Pagar Alam, dan petani cabe di Banyuwangi," ungkap dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya