Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta mewaspadai dampak rambatan dari turunnya PMI Manufaktur China yang turun ke level 49,2 pada akhir bulan April 2023. Mengingat China merupakan negara mitra dagang Indonesia terbesar.
“Berkaitan dengan turunnya PMI di China ini perlu dilakukan kajian lebih dalam, apakah penurunan ini bisa mempengaruhi kinerja perdagangan Indonesia-China,” kata Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik BPS, Imam Machdi dalam konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta Pusat, Senin (15/5).
Baca Juga
Imam menjelaskan sampai April 2023, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami surplus sebesar USD479,6 juta atau setara Rp7,09 triliun
Advertisement
Dalam periode yang sama, nilai ekspor non migas Indonesia ke China tercatat sebesar USD4,62 miliar atau setara Rp68,38 triliun. Meskipun jumlahnya besar, namun angka ini mengalami penurunan 18,49 persen (mtm) dibandingkan pada posisi Maret 2023.
“Ekspor non migas Indonesia ke China sebesar USD4.620,5 juta, kalau kita lihat ini turun 18,49 persen (mtm),” kata Imam.
Sementara itu, impor non migas Indonesia dari China sebesar USD4,14 miliar atau setara Rp61,25 triliun. Angka ini juga mengalami penurunan sebesar 27,12 persen dibandingkan bulan Maret 2023.
“Jadi artinya nilai ekspor non migas Indonesia ke China nilainya lebih besar ekspor non migas dari China ke Indonesia. Makanya neraca perdagangan Indonesia dengan China surplus sebesar USD479,6 juta,” kata Imam.
Surplus neraca perdagangan Indonesia - China tersebut didorong oleh beberapa komoditas. Antara lain bahan bakar mineral sebesar USD1,29 miliar, besi dan baja sebesar USD1,02 miliar dan nikel dan barang daripadanya sebesar USD425,6 juta.
“Ada beberapa komoditas yang mendorong surplus neraca perdagangan Indonesia-China, sebagian besar ini pada bahan bakar mineral besi dan baja, serta nikel dan barang daripadanya,” kata dia.
Dengan demikian, Imam meminta pihak-pihak terkait untuk melakukan pendalaman dari penurunan kinerja perdagangan Indonesia-China. Agar risiko turunnya PMI Manufaktur di China bisa diantisipasi sejak dini. “Maknaya pihak terkait yang bisa melihat data ini untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam,” pungkasnya.
Harga Minyak Dunia Jatuh karena Ekonomi AS dan China Mengkhawatirkan
Sebelumnya, harga minyak dunia turun kurang lebih 1 persen pada perdagangan Jumat. Dengan penurunan ini harga minyak dunia telah jatuh selama tiga pekan berturut turut.
Pelemahan harga minyak dunia ini karena adanya kekhawatiran pelaku pasar akan gangguan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan China akan mempengaruhi permintaan akan minyak mentah.
Mengutip CNBC, Sabtu (13/5/2023), harga minyak mentah Brent berjangka turun 81 sen atau 1,1 persen menjadi USD 74,17 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 83 sen atau 1,2 persen menjadi USD 70,04 per barel.
Kedua tolok ukur harga minyak dunia tersebut telah turun sekitar 1,5 persen di pekan ini jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya.
Nilai tukar Dolar AS naik dengan kekuatan moderat terhadap euro pada hari Jumat dan menuju kenaikan mingguan terbesar sejak Februari. kenaikan dolar AS ini terjadi karena ketidakpastian seputar plafon utang AS dan kebijakan moneter mendorong peralihan ke instrumen safe haven dibanding yang berisiko tinggi.
Dolar AS yang lebih kuat membuat harga minyak yang dihargakan dalam dolar AS lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
"Kurangnya kepercayaan pada ekonomi diterjemahkan menjadi mengumpulkan dolar AS yang lebih aman, dan juga menyebabkan pesimisme tentang permintaan minyak dunia," kata partner di Again Capital LLC di New York, John Kilduff.
Advertisement
Kekhawatiran Memuncak
Kekhawatiran memuncak bahwa AS yang merupakan konsumen minyak dunia akan memasuki resesi, dengan pembicaraan tentang plafon utang pemerintah AS ditunda dan kekhawatiran tumbuh atas bank regional lain yang dilanda krisis.
Gubernur Fed Michelle Bowman mengatakan pada hari Jumat bahwa Federal Reserve atau Bank Sentral AS mungkin perlu menaikkan suku bunga lebih lanjut jika inflasi tetap tinggi.
Hal ini menambahkan beban pada bulan ini karena kenaikan suku bunga sudah berarti akan menahan laju pertumbuhan ekonomi sehingga permintaan akan minyak mentah pun juga melambat.
Sementara itu, data harga konsumen China bulan April naik pada kecepatan yang lebih lambat dari pada bulan Maret, meleset dari ekspektasi. Hal ini menambah lagi keraguan tentang pemulihannya dari pembatasan COVID yang mendorong pertumbuhan permintaan minyak mentah.