62 Negara Tak Punya Sawit Tapi Rutin Ekspor, Kok Bisa?

Minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) merupakan salah satu komoditas yang banyak manfaatnya, diantaranya diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman, kosmetik, bahan kimia, hingga bahan bakar.

oleh Tira Santia diperbarui 24 Agu 2023, 12:09 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2023, 18:15 WIB
cpo-ekspor130527c.jpg
Minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) merupakan salah satu komoditas yang banyak manfaatnya, diantaranya diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman, kosmetik, bahan kimia, hingga bahan bakar.

Liputan6.com, Jakarta Minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) merupakan salah satu komoditas yang banyak manfaatnya, diantaranya diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman, kosmetik, bahan kimia, hingga bahan bakar.

Oleh karena itu, banyak negara yang membutuhkan CPO sebagai bahan dasarnya. Namun, tidak semua negara mampu memproduksi minyak kelapa sawit.

Akademisi dan Ketua LPEM UI dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, mengatakan terdapat 62 negara yang melakukan ekspor tetapi tidak memproduksi, atau disebut sebagai negara pedagang perantara. Namun, ia tidak merinci negara mana saja.

Kemudian terdapat 5 negara memproduksi minyak sawit namun tidak mengekspor, dan ada 43 negara merupakan produsen sekaligus eksportir minyak sawit.

Ia menjelaskan dalam perdagangan minyak nabati, tidak semua eksportir merupakan produsen minyak nabati. Terdapat negara pengekspor yang tidak memproduksi, yakni negara-negara yang menjadi perantara perdagangan.

Adapun negara pedagang perantara tidak hanya melakukan ekspor minyak sawit (palm oil) saja, melainkan mereka juga melakukan ekspor coconut oil, cottenseed oil, olive oil dan lainya. Namun, minyak Sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak terdapat pedagang perantaranya.

"Setelah melakukan analisis data, bahwa minyak nabati mulai coconut oil dan seterusnya itu diperdagangkan tidak hanya oleh negara produsennya saja. Jadi, yang berdagang sawitnya Indonesia bukan cuman Indonesia saja, melainkan banyak sekali negara lain juga menjadi pedagang minyak nabati," kata Eugenia Mardanugraha dalam workshop GAPKI 'HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan', di Bandung, Rabu (23/8/2023).

Negara Perantara

Kata Euginia, biasanya negara pedagang perantara melakukan ekspor dengan terlebih dahulu mengimpor minyak sawit dari negara produsen, lalu kemudian mengekspornya. Sebagai contoh, Belanda merupakan salah satu negara pedagang perantara yang paling banyak melakukan perdagangan minyak kelapa sawit.

"Jadi, Belanda itu negara gak punya sawit tetapi dia itu berdagang sawit. Belanda itu gak cuman sendiri, ada 61 negara lainnya yang melakukan itu. Jadi, dia itu impor dari Indonesia kemudian dijual lagi ke negara lain," ujarnya.

Berdasarkan paparannya, rata-rata impor minyak sawit Malaysia dari Indonesia setiap Tahunnya dari Tahun 2010 – 2022 adalah sebesar 934,067 tons. Pada Tahun 2021 adalah sebesar 1,015,239 ton, sementara impor Belanda dari Malaysia hanya sebesar 638,219 tons. Artinya, seluruh minyak sawit yang dijual oleh Malaysia ke Belanda berasal dari Indonesia.

Industri Sawit Indonesia Sedang Tak Baik-Baik Saja, Ini Penyebabnya

Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengungkapkan, saat ini kondisi industri kelapa sawit di dalam negeri sedang kurang bagus. Hal itu dipengaruhi oleh menurunnya harga minyak nabati secara global.

Ia pun menilai perkembangan ekspor kelapa sawit dikuartal II-2023 memang mengalami kenaikan, namun jika dibandingkan dengan tahun 2022 pada periode yang sama, maka ecara nilai angkanya justru mengalami penurunan.

“Sekarang kondisinya memang kurang bagus, contoh ekspor kita dibandingkan tahun 2022 pada periode yang sama itu naik, tetapi secara angka, nilai itu turun karena harga minyak nabati dunia itu turun,” kata Eddy dalam workshop GAPKI 'HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan', di Bandung, Rabu (23/8/2023).

Lebih lanjut, Eddy menyebut kelapa sawit bukanlah satu-satunya minyak nabati di dunia. Walaupun kelapa sawit memiliki pangsa pasar terbesar di dunia sebanyak 33 persen, namun sisanya masih diisi oleh minyak nabati lainnya.

“Jadi, sawit ini tidak bisa berdiri sendiri. Apabila terjadi sesuatu dengan minyak nabati lain, sudah pasti nantinya juga akan berpengaruh terhadap harga minyak sawit,” katanya.

 

Harga Minyak Nabati

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Menurutnya, jika terjadi sesuatu dengan minyak nabati lain maka hal itu akan memengaruhi harga minyak nabati dari sawit. Misalnya, ketika awal terjadinya perang Rusia-Ukraina, beberapa negara khawatir minyak nabati biji bunga matahari dari kedua negara tersebut tidak bisa di ekspor.

Alhasil, dengan dihentikannya ekspor minyak nabati yang berasal dari biji bunga matahari tersebut, membuat harga minyak nabati naik tajam, bahkan mendorong terjadinya penghentian ekspor sawit dari Indonesia.

“Harga minyak nabati naik tajam, dan terjadi tragedi ekspor Indonesia di stop. Apa yang terjadi? (Padahal) waktu itu produksi sedang bagus, akhirnya stok penuh, TBS petani juga tidak tertampung, dan akhirnya busuk dipohon. Karena kita tidak bisa minta ke pohon agar buahnya jangan dimatengin dulu, kan tidak bisa. Sehingga akhirnya harganya jatuh,” ujarnya.

 

Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya