Seberapa Besar Kontribusi WFH Tekan Polusi Udara Jakarta?

Pada 4 September siang, atau saat diberlakukan WFH dan rekayasa lalu lintas, indeks kualitas udara menjadi kategori sedang dengan level 112.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Sep 2023, 12:50 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2023, 12:50 WIB
Polusi Udara Jakarta
Terpantau pada 4 September siang, atau saat diberlakukan WFH dan rekayasa lalu lintas, indeks kualitas udara menjadi kategori sedang dengan level 112.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo tegas mengatakan bahwa penyebab utama polusi udara bukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap seperti yang dituduhkan selama ini.

Agus memaparkan bahwa sudah banyak penelitian yang menyebutkan sektor transportasi sebagai penyebab utama memburuknya kualitas udara Jakarta. Tercatat, sektor tersebut menyumbang tidak kurang dari 44% polutan di Jakarta.  

Hal tersebut juga diperkuat dari sumber data kualitas udara Jakarta. Menurut www.iqair.com, catatan data polusi udara Jakarta tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan cenderung ke semakin memburuk sejak 29 Agustus, yang mana beberapa unit PLTU Suralaya sudah pada kondisi shutdown. 

Namun demikian, terpantau pada 4 September siang, atau saat diberlakukan WFH dan rekayasa lalu lintas, indeks kualitas udara menjadi kategori sedang dengan level 112.

“Membaik karena kebijakan WFH dan rekayasa lalu lintas.," tutur dia dikutip Selasa (5/9/2023).

Selain itu, Agus menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh salah mengidentifikasi penyebab utama polusi udara. “Saya selalu berpendapat bahwa PLTU milik pemerintah bukan lah penyebab utama polusi," katanya.

PLTU Sudah Dipasang Alat Canggih

Dia menambahkan, PLTU milik pemerintah sudah terpasang alat-alat canggih yang mampu menyedot debu emisi. “Sehingga jika beterbangan pun tidak akan sampai Jakarta. Lagian arah angin pada bulan-bulan ini juga enggak mengarah ke Jakarta," tutup dia.

Pada masalah polusi udara di Jakarta, Agus meminta pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berupa solusi strategis yang tepat.

Dia juga menyarankan agar masyarakat bersabar sambil terus mengurangi pemakaian kendaraan pribadi agar emisi yang dikeluarkan juga berkurang. Agus memaparkan, semua solusi terkait polusi udara membutuhkan perencanaan dan penelitian yang cermat. “Identifikasinya harus tepat. Jika kita ingin menyelesaikannya dengan cepat, itu hanya sebatas mimpi.” ungkap dia.

 

 

 

 

 

PLTU Terbesar di Indonesia Penuhi Standar Pengelolaan Emisi

PLTU Suralaya
PLTU Suralaya

Pemerintah telah menyusun perubahan Rencana Umum Ketenagalistirkan Nasional (RUKN). Dalam perubahan ini, pemerintah mengutamakan penyediaan tenaga listrik berbasis berbasis EBT untuk menurunkan emisi gas buang pembangkit listrik.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar menjelaskan, penyediaan energi bersih dapat dilihat dari emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbasis fosil.

"Salah satu indikatornya mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Termal," ujar Wanhar dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/9/2023).

Wanhar menjelaskan sejak tahun 2019 Kementerian LHK memperketat baku mutu emisi dengan nilai konsentrasi parameter SO2 dan NOx sebesar 200 mg/Nm3 , konsentrasi parameter PM sebesar 50 mg/Nm3 dan konsentrasi Hg sebesar 0,03 mg/Nm3.

"Indonesia terus berupaya untuk menerapkan baku mutu emisi yang lebih baik agar dapat bersaing dengan negara-negara yang sudah menerapkan baku mutu emisi (parameter SO2, NOx, Partikulat dan Merkuri (Hg)) untuk PLTU yang lebih ketat seperti China, Amerika Serikat dan Jepang," jelas Wanhar.

Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyampaikan bahwa peninjauan ini dilakukan dalam rangka melaksanakan fungsi Pengawasan DPR RI, mengingat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi salah satu sektor yang disorot terkait dengan semakin parahnya polusi udara yang terjadi di Jakarta.

Sehingga dilakukan kunjungan langsung terkait implementasi teknologi PLTU yang lebih ramah lingkungan sesuai dengan standar Environmental Social Governance (ESG).

"Kualitas udara di Jakarta sedang memburuk akibat polusi udara, oleh karena itu dalam kesempatan pagi hari ini, Komisi VII ingin berdiskusi dan meninjau secara langsung terkait profil dan kinerja PLTU Suralaya dalam pemenuhan energi listrik bagi Masyarakat dan ingin mengetahui langkah-langkah perusahaan dalam menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan, serta implementasi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang telah diterapkan Perusahaan," jelas Sugeng.

 

Standar Pemasangan ESP

Economic Scale Biomassa dapat Tercipta dengan Pengimplementasian Cofiring PLTU
(Foto:Dok.Kementerian ESDM)

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra menyampaikan bahwa pihaknya dan PT PLN (Persero) berkomitmen untuk selalu menjaga emisi PLTU sesuai dengan regulasi.

"PLN telah menetapkan standar pemasangan ESP pada setiap PLTU sehingga emisi yang dikeluarkan oleh PLTU selalu aman dan berada dibawah ambang batas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sesuai Permen LHK no. 15 tahun 2019, ambang batas partikulat adalah 100 mg/m3, sedangkan hasil pengukuran partikulat di Suralaya di bawah 60 mg/m3" ungkap Edwin.

Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan ITB, Prof Puji Lestari yang telah melakukan kajian dampak kegiatan PLTU PT PLN Indonesia Power terhadap potensi polutan lintas batas dengan model dispersi pada tanggal 1-22 Agustus 2023 menyampaikan bahwa PLTU Suralaya sudah memenuhi aturan yang ditetapkan pemerintah, terutama dalam mengelola emisi yang dihasilkan.

 

Infografis 10 Kota Dunia dengan Kualitas Udara yang Buruk akibat Polusi
Infografis 10 Kota Dunia dengan Kualitas Udara yang Buruk akibat Polusi
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya