Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 11 persen dari 2.000 miliarder di dunia telah mencalonkan diri saat pemilihan umum (pemilu) atau menjadi politikus. Hal ini berdasarkan penelitian dari Northwestern University.
Penelitian tersebut menyoroti meningkatnya kekuatan dan pengaruh orang super kaya. Miliarder meski mempunyai kesuksesan yang beragam dalam pemilu di Amerika Serikat (AS) miliarder di seluruh dunia memiliki “rekam jejak yang kuat” dalam memenangkan pemilu dan “secara ideologis condong ke sayap kanan”. Demikian disampaikan dari penelitian yang dilakukan oleh tiga professor di Northwestern University.
Baca Juga
"Politikus miliarder adalah fenomena yang sangat umum,” kata studi tersebut.
Advertisement
"Konsentrasi kekayaan yang sangat besar di tangan sekelompok kecil dapat dimengerti menyebabkan banyak pengamat khawatir orang super kaya memiliki pengaruh politik yang sangat besar,” demikian disampaikan dari studi tersebut.
Dengan Donald Trump yang kini menjalani kampanye presiden yang ketiga berturut-turut mengalahkan kandidat Partai Republik yang sangat kaya, Vivek Ramaswamy dan Doug Burgum yang hasilkan lebih banyak suara, miliarder dan multi-jutawan sekali lagi memainkan peran besar dalam pemilu nasional.
Pada Pemilu 2020, miliarder Michael Bloomberg dan Tom Steyer gagal mengajukan pencalonan untuk nominasi Partai Demokrat meski habiskan lebih dari USD 100 juta atau sekitar Rp 1,59 triliun (asumsi kurs Rp 15.911 per dolar AS dari kekayaan pribadi.
Crazy Rich Rick Caruso kalah saat mencalonkan diri sebagai Wali Kota Los Angeles tahun lalu setelah habiskan USD 104 juta atau sekitar Rp 1,65 triliun untuk kampanyenya.
Sedangkan miliarder J.B. Pritzker menjadi Gubernur Illinois setelah habiskan lebih dari USD 350 juta atau sekitar Rp 5,57 triliun untuk memenangkan dua pemilihannya.
Miliarder Punya Kekuatan Politik Lebih Besar
Di luar Amerika Serikat, politikus miliarder bahkan lebih umum ditemui. Miliarder Taiwan dan pendiri Foxconn Terry Gou mencalonkan diri sebagai Presiden Taiwan. Pemimpin miliarder lainnya termasuk Andrej Babis dari Republik Ceko, mendiang Silvio Berlusconi dari Italia, Bidzina Ivanishvili dari Georgia, Najib Mikati dari Lebanon, Sebastian Pinera dari Chili dan Thaksin Shinawatra dari Thailand.
Miliarder mempunyai kekuatan politik yang lebih besar melalui sumbangan mereka ( yang sering kali bersifat rahasia) untuk mendukung kandidat, partai dan super PAC. Miliarder sumbangkan dana sebesar USD 881 juta atau sekitar Rp 14,017 triliun kepada partai politik Amerika Serikat (AS) pada pemilihan paruh waktu federal tahun 2022 dengan 14 dari 20 donor terbesar menyumbang kepada Partai Republik, menurut American for Tax Fairness.
Donatur miliarder juga mulai menggelontorkan dana pada 2024 termasuk maestro kasino Phil Ruffin, raja teknologi Larry Ellison, investor Nelson Peltz, taipan Richard Uihlein, Jeffrey Yass, investor Stanley Druckenmiller dan hedge-fund Cliff Aness, David Tepper dan Bruce Kovner.
Advertisement
Analisis terhadap 2.072 Miliarder
Studi baru terhadap politikus miliarder ini dilakukan oleh Daniel Krcmaric, Stephen C.Nelson dan Andrew Roberts di Northwestern dan diterbitkan oleh Cambridge University Press atas nama American Political Science Association.
Studi ini menganalisis 2.072 miliarder dalam daftar Forbes yang memasuki dunia politik sebagai miliarder. Kebijakan ini mengecualikan mereka yang memperoleh kekayaan terutama dari jabatan politik atau yang menjadi miliarder setelah meninggalkan dunia politik.
Presiden Rusia Vladimir Putin, misalnya tidak dimasukkan dalam pemilitian ini karena ia tidak ada dalam daftar Forbes dan dilaporkan memperoleh kekayaan setelah terjun ke dunia politik.
Selain mereka yang terpilih untuk menjabat, penelitian ini juga mencakup miliarder yang pernah menduduki posisi di tingkat kabinet, peran penting di pemerintahan, dan duta besar. Ditemukan mayoritas miliarder memegang beberapa peran politik selama karier mereka.
Sebanyak 242 miliarder yang pernah memegang jabatan politik tertentu rata-rata memegang 2,5 jabatan politik selama hidup mereka, menurut penelitian tersebut.
Miliarder Prancis Serge Dassault, misalnya memegang atau mencalonkan diri untuk 16 jabatan berbeda sepanjang karier politiknya.
Jalur Tersembunyi untuk Dapat Pengaruh Politik Informal
“Dalam berbagai cara, miliarder cenderung memainkan peran yang berkelanjutan dan signifikan dalam sistem politik negara mereka,” demikian temuan studi tersebut.
Miliarder jauh lebih sukses dalam rezim otokratis dan otoritas dibandingkan dalam pemerintahan demokratis. Menurut penelitian tersebut, tingkat masuknya politik, miliarder Amerika Serikat adalah 3,7 persen, jauh di bawah rata-rata global yang sebesar 11 persen. Menurut penelitian itu, China memiliki jumlah politikus miliarder tertinggi di dunia. China memiliki 116 miliarder di pemerintahan, mewakili 36 persen dari tingkat miliarder yang berpolitik.
Hong Kong berada di peringkat kedua, dengan 31 persen diikuti oleh Rusia dengan 21 persen. Jepang dan Australia tampaknya tidak memiliki miliarder yang terjun langsung ke dunia politik, menurut penelitian tersebut.
“Kami menduga hal ini disebabkan oleh motif perlindungan kekayaan yang lebih kuat untuk masuk ke dalam pemerintahan otoriter dan beragamnya jalur sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan pengaruh politik informal di negara-negara demokrasi,” kata studi tersebut.
Miliarder di AS meski jadi kandidat sering kali gagal, mereka memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi secara global. Dari 198 pemilihan langsung yang menampilkan setidaknya satu miliarder, kandidat miliarder menang di 158 atau 80 persen, menurut penelitian itu.
Miliarder Lebih Konservatif
Penelitian ini juga menemukan kalau melihat afiliasi partai dan ideologi, miliarder biasanya lebih konservatif. Diukur berdasarkan spektrum politik, tiga perempat politikus miliarder berada di sebelah kanan median, demikian disebutkan dalam studi itu.
Miliarder AS 2,5 kali lebih mungkin berafiliasi dengan Partai Republik dibandingkan Partai Demokrat. Di Eropa politikus miliarder lebih condong ke sayap kanan.
Studi itu mengatakan, kelompok kaya dan makmur pada umumnya lebih cenderung menganut konservatif fiskal dan menentang program belanja sosial, dan utamakan efisiensi daripada kesetaraan hasil. Memandang kesenjangan ekonomi sebagai akibat dari pilihan dan karakteristik individu dibandingkan faktor struktural dan bersaing dalam memperebutkan status sosial.
Advertisement