Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, tetap optimis Indonesia akan menjadi negara maju pada 2045. Pernyataan tersebut menanggapi perkiraan LPEM FEB UI yang menyebut Indonesia akan kesulitan menuju negara maju.
Optimisme tersebut muncul lantaran pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil memasukkan Indonesia ke dalam proses keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Baca Juga
Â
Advertisement
"Jadi ya Indonesia, pemerintah selalu optimis, kita kan sudah mau masuk di dalam kerangka OECD, jadi banyak hal yang sudah akan kita siapkan transformasi berikutnya," kata Airlangga usai Rapat Kerja Nasional Performa Agraria, di Hotel Sheraton, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2023).
Diketahui sebelumnya, dalam dokumen White Paper LPEM FEB UI disampaikan mengenai potensi besar Indonesia gagal menjadi negara maju pada 2045.
Pendapatan Masyarakat
Potensi tersebut didorong dari pendapatan masyarakat Indonesia yang masih jauh di bawah negara-negara lain saat berhasil memperoleh status negara berpenghasilan menengah ke atas atau upper middle income countries (UMIC).
Kemudian, dalam dokumen White Paper bagian Menavigasi Jalan Indonesia Menuju 2045: Kesetaraan dan Mobilitas Ekonomi, disebutkan saat ini kondisi sosial ekonomi Indonesia jauh berbeda dengan kondisi sosial ekonomi negara-negara UMIC ketika memiliki pendapatan per kapita yang sama dengan Indonesia saat ini.
Pada bagian ini LPEM FEB UI membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara maju lainnya, seperti Korea Selatan pertumbuhan ekonominya mencapai 12 persen, China 10,6 persen, Malaysia 6,8 persen, dan Thailand 7,5 persen.
Â
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 5 persen selama dua dekade terakhir. LPEM FEB UI menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia 'stagnan', lantaran tidak pernah jauh dikisaran 5 persen.
Bahkan, pertumbuhan kredit per tahun pun tak pernah tembus 15 persen, begitupun rasio pajak terhadap PDB juga tidak pernah diatas 11 persen. Tak hanya itu saja, kntribusi industri terhadap PDB juga terus menurun hingga kini di level 18 persen, dan kemiskinan ekstrem persisten di level 1,7 persen.
Padahal salah satu indikator penting untuk menjadi negara berpendapatan tinggi yaitu persentase ekspor barang teknologi tinggi dibandingkan persentase ekspor manufaktur.
Dilihat dari indikator tersebut, Indonesia dinilai masih jauh dibanding negara lain yang sudah lebih dulu masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas. Dalam White Paper tersebut dibeberkan bahwa Indonesia pada 2021 memiliki rasio terendah sebesar 7,2 persen, dibandingkan dengan negara-negara lain ketika pertama kali masuk dalam UMIC. Misalnya, China 32,12 persen, Thailand 26,27 persen, Brazil 12,59 persen, Malaysia 50,86 persen.
Â
Advertisement
Ekspor Manufaktur
Menurut LPEM FEB UI, menilai kondisi tersebut menunjukkan ekspor manufaktur Indonesia masih didominasi oleh ekspor produk teknologi rendah dan produk manufakturnya berbasis komoditas, sehingga sangat rentan terhadap gejolak harga dan pangsa pasar mudah tergantikan oleh negara-negara lainnya.
Alhasil dari hasil perbandingan tersebut, dalam White Paper LPEM FEB UI menilai peluang Indonesia untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 sangat kecil.
"Semakin berkembang perekonomian maka pertumbuhan ekonomi 5-7 persen sangat sulit dicapai (Bulman et al., 2017), dengan skenario pertumbuhan yang berbeda-beda tiap-tiap periode (5 persen, 4 persen dan 3 persen) maka Indonesia tidak akan mencapai HIC (high income countries) pada 2045," isi dalam dokumen White Paper LPEM FEB UI.