Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi dapat memberikan kemudahan dalam berbagai aspek. Akan tetapi, dalam konteks mengungkap alur pencucian uang, terdapat tantangan lebih banyak yang dihadapi untuk menyelesaikan kasus kejahatan tersebut, terutama dalam kasus pencucian uang lintas negara.
Direktur Strategi dan kerja sama internasional PPATK Diana Soraya Noor mengatakan, perkembangan teknologi membuat semakin mudah aliran keuangan secara global.“Sedikit banyak membuat kasus pencucian uang lintas negara menjadi challenging,” kata Diana pada acara “Jadi Tahu” Liputan6.com pada Rabu, (22/11/2023).
Baca Juga
“Dulu lebih mudah menelusuri jejak-jejaknya ketika pembayaran dilakukan secara manual seperti melalui transfer,” jelas dia.
Diana melanjutkan, adanya perkembangan aliran keuangan seperti aset virtual atau crypto currency serta hadirnya potensi anonim yang besar membuat lebih sulit ketika ingin menelusuri pengirim dana tersebut.
Advertisement
“ada keterbatasan jangkauan PPATK untuk akses siapa yang memiliki aset crypto tersebut,” kata Diana.
Namun, saat ini Indonesia sudah bergabung dengan organisasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). FATF adalah sebuah organisasi dengan tujuan mengembangkan sistem dan infrastruktur untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang dan kemudian dikembangkan untuk memberantas kegiatan pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi/pengembangan senjata pemusnah massal.
Dengan bergabungnya Indonesia dengan FATF, Diana mengatakan bahwa Indonesia bisa mengupayakan lebih luas lagi dari sebelumnya. Tak hanya itu, dengan adanya FATF, Diana mengatakan bahwa Indonesia bisa lebih efektif lagi dalam mengungkap kasus pencucian uang.
Sanksi Diberikan untuk Negara yang Tidak Kooperatif
FATF memiliki mekanisme untuk melakukan pengawasan melalui mutual evaluation review (MER). Melalui pengawasan tersebut, Diana mengatakan bahwa ada sanksi bagi negara yang melanggar atau negara yang tidak kooperatif akan diblacklist.
“Jika diblacklist, negara-negara tersebut akan disebut sebagai negara yang beresiko tinggi. Ketika suatu negara dianggap seperti itu, tentu secara reputasi akan terlihat seperti negara yg keuangannya bisa tidak stabil, tidak punya basis perekonomian yg kuat sehingga membuat investor akan berkurang,” jelas Diana.
Adanya perbedaan sistem hukum, perbedaan pemahaman antar negara tentu perlu koordinasi. PPA Kejaksaan Agung Muhammad Fabian Swantoro mengatakan bahwa perkembangan teknologi tidak bisa menjadi penghalang untuk mengungkap kasus pencucian uang lintas negara.
“Yang jadi masalah utama itu kecepatan waktu, butuh waktu untuk mengungkap (pencucian uang) kemudian dibawa ke penuntutan,” kata Fabian.
Advertisement
Rugikan Negara
Fabian mengungkap, sudah banyak kasus pencucian yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan kerugian hingga Rp 3 triliun.
“yang menarik, dalam konteks transnasional Indonesia sudah pernah mengembalikan uang pencucian uang sebesar Rp 27 miliar ke Italia dan Rp 26 miliar ke Belanda sebagai korban melalui tindak kerjasama dengan kepolisian, setelah diadili dapat diselamatkan dan dikembalikan ke korban yg berhak,” kata Fabian.
Saat ini, Fabian mengungkap bahwa Indonesia tengah mengejar salah satu aset korupsi yang dibawa ke New Zealand.
“Sudah ada gambaran bahwa ini bisa berhasil dirampas. Dalam waktu dekat bisa mengumumkan bahwa ada aset yg bisa ditarik ke indonesia,” kata Fabian.