Liputan6.com, Jakarta - Harga gula mengalami kenaikan dalam beberapa pekan terakhir. Bahkan kenaikan harga gula ini mencapai level tertinggi dalam sejarah. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menjelaskan penyebab kenaikan harga gula tersebut.Â
Menurutnya, kenaikan harga gula di tanah air yang sempat mencapai Rp 18.000 per kilogram (kg) ini lantaran harga gula di pasar global tinggi dan India menghentikan ekspornya selama masa pemilu.
Baca Juga
"Di India ini pemilu bulan Mei (2024), jadi semua produk-produknya termasuk beras, tidak boleh ekspor agar dalam negerinya tidak ada inflasi," ujar Zulkifli usai meninjau harga barang bahan pokok di Pasar Johar Baru, Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (4/12/2023).
Advertisement
India menjadi salah satu mengimpor gula terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, berhentinya ekspor gula dari India secara tidak langsung mempengaruhi harga pasar.
Indonesia menjadi tujuan ekspor gula terbesar India, disusul Bangladesh, Malaysia, Sudan, Somalia dan Uni Emirat Arab.
Zulkifli menyampaikan, impor gula Indonesia saat ini hanya bergantung pada Brazil. Hal ini menyebabkan biaya logistiknya menjadi mahal dan waktu distribusi lebih lama dibanding dengan India.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut bahwa realisasi impor gula konsumsi baru 26 persen dari total kuota tahun ini yang hampir 1 juta ton. Sementara data prognosa neraca pangan nasional per 20 Oktober 2023, realisasi impor gula konsumsi dari Januari-Agustus 2023 mencapai 290.801 ton.
"Kalau harga gula memang karena impor kan naik, bahkan di India itu dilarang (ekspor), gula dan beras dilarang. Ya itu akan berpengaruh, jadi kalau harga gula memang kita kan mendatangkan dari luar negeri," kata Zulkifli Hasan.
Seramnya El Nino, Harga Gula Global Cetak Rekor Tertinggi
Industri gula menghadapi dampak dari fenomena panas ekstrem El Nino, lonjakan inflasi dan pelemahan mata uang, di mana perdagangan di berbagai negara telah mencapai harga tertinggi sejak 2011.
El Nino menimbulkan hambatan pada panen di India dan Thailand, eksportir gula terbesar kedua dan ketiga di dunia.
Hal ini hanyalah pukulan terbaru bagi negara-negara berkembang yang sudah menghadapi kekurangan bahan pangan seperti beras dan larangan bahan pangan lainnya yang telah menambah inflasi.
Mengutip Channel News Asia, Senin (20/11/2023) Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan penurunan produksi gula global akan mencapai 2 persen pada musim 2023-2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Angka ini menandai penurunan sekitar 3,5 juta metrik ton, kata Fabio Palmeri, analis pasar komoditas global FAO.
Brasil adalah eksportir gula terbesar, namun hasil panennya hanya akan membantu menutup kesenjangan pada tahun 2024. Sampai saat itu tiba, negara-negara yang bergantung pada impor, seperti sebagian besar negara di Afrika Sub-Sahara masih rentan terhadap kekurangan pasokan.
Nigeria, misalnya, membeli 98 persen gula mentahnya dari negara lain. Pada 2021, negara ini melarang impor gula rafinasi yang bertentangan dengan rencana membangun pengolahan gula dalam negeri dan mengumumkan proyek senilai USD 73 juta untuk memperluas infrastruktur gula.
Di Thailand, efek El Nino di awal musim tanam tidak hanya mengubah kuantitas tetapi juga kualitas panen, ungkap Naradhip Anantasuk, pemimpin Asosiasi Penanam Gula Thailand.
Dia memperkirakan hanya 76 juta metrik ton tebu yang akan digiling pada musim panen tahun 2024, dibandingkan dengan 93 juta metrik ton tahun ini.
Adapun Indonesia – importir gula terbesar tahun lalu, menurut USDA – telah mengurangi impor dan Tiongkok terpaksa melepaskan gula dari stoknya untuk mengimbangi tingginya harga di dalam negeri untuk pertama kalinya dalam enam tahun.
Advertisement
Dampak di India
Ada juga India yang mengalami cuaca terkering dalam lebih dari satu abad terakhir pada Agustus 2023.
Produksi gula negara itu diprediksi menurun sebesar 8 persen tahun ini, menurut Asosiasi Pabrik Gula India.
Negara dengan populasi terbesar di dunia ini juga merupakan konsumen gula terbesar dan kini membatasi ekspor gula.