Liputan6.com, Jakarta - Ekspor China turun selama setahun untuk pertama kalinya sejak 2016 seiring melambatnya permintaan global.
Dikutip dari CNN, Jumat (12/1/2024), ekspor yang diukur dalam dolar Amerika Serikat mencapai USD 3,38 triliun atau sekitar Rp 52,60 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.562) pada 2023, turun 4,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2022, ekspor China naik 7 persen dari sebelumnya. Hal itu berdasarkan data bea cukai China yang dirilis Jumat, 12 Januari 2024.
Baca Juga
Terakhir kali, China mencatat penurunan ekspor pada 2016. Saat itu ekspor turun 7,7 persen karena lemahnya permintaan.
Advertisement
Tahun lalu, impor turun 5,5 persen menjadi USD 2,56 triliun. Hal ini membuat negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini memiliki surplus perdagangan sebesar USD 823 miliar.
"Pemulihan ekonomi global melemah dalam satu tahun terakhir,” ujar juru bicara the General Administratation of Customs, Lyu Daliang saat konferensi pers di Beijing, Jumat pekan ini.
"Permintaan eksternal yang lesu telah memukul ekspor China,” ia menambahkan.
Ia prediksi, ekspor pada 2024 akan terus hadapi tantangan karena permintana global kemungkinan akan tetap lemah. "Proteksionisme dan unilateralisme akan hambat pertumbuhan sektor,” ujar dia.
Di sisi lain, ekspor naik 2,3 persen pada Desember 2023 dibandingkan bulan sama tahun lalu. Ini menandai pertumbuhan dua bulan berturut-turut dan menunjukkan sedikit perbaikan dalam selera global terhadap barang China. Ekspor China itu telah turun selama enam bulan berturut-turut sebelum November 2023.
Amerika Serikat tetap menjadi mitra dagang terbesar bagi China pada 2023. Hal ini seiring perdagangan bilateral menyumbang 11,2 persen dari total perdagangan. Namun, nilai itu turun 11,6 persen dari 2022.
Selain itu, ASEAN dan Uni Eropa masing-masing sumbang 15,4 persen dan 13,2 persen dari total perdagangan dengan China, berdasarkan angka bea cukai.
Ekspor Mobil China Melonjak
China juga mencatat kenaikan nilai ekspor mobil 69 persen pada tahun lalu, tertinggi di antara semua kategori. Berdasarkan volume, China mengirimkan 5,22 juta kendaraan pada 2023, naik 57 persen dari 2022. Lyu menuturkan, hal ini sebagian disebabkan oleh melonjaknya pertumbuhan kendaraan listrik.
“Satu dari setiap tiga mobil yang diekspor China adalah kendaraan listrik penumpang,” kata dia,
Ia menambahkan, pihaknya yakin industri otomotif China masih memiliki keunggulan kompetitif menyeluruh yang kuat dan dapat terus menyediakan produk inovatif yang lebih banyak dan lebih baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen global.
Awal pekan ini, sebuah kelompok industri mobil besar China mengatakan, China pasti melampaui Jepang dalam eksportir mobil terbesar di dunia tahun lalu, didorong oleh permintaan yang kuat di Rusia dan meningkatnya selera global terhadap kendaraan listrik.
Advertisement
Raksasa Migas Aramco Berencana Akuisisi Perusahaan Petrokimia China
Sebelumnya diberitakan, raksasa energi Arab Saudi, Aramco, berencana meningkatkan investasi pada mitranya di Tiongkok, seiring dengan perluasan kehadirannya di negara tersebut.
Melansir CNN Business, Jumat (5/1/2024) perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia itu sedang dalam pembicaraan untuk mengakuisisi maksimum 50 persen saham di anak perusahaan Rongsheng Petrochemical, Ningbo Chongjin Petrochemical, kata perusahaan Tiongkok itu dalam pengajuannya ke Bursa Efek Shenzhen.
Rongsheng, kilang milik swasta yang berbasis di Hangzhou, mengatakan pihaknya juga sedang mendiskusikan kemungkinan mengambil 50 persen saham di Saudi Aramco Jubail Refinery Company, unit penyulingan perusahaan Arab Saudi, menurut nota kesepahaman yang ditandatangani kedua belah pihak pada hari yang sama.
Kedua perusahaan tersebut juga dapat bersama-sama meningkatkan dan memperluas peralatan anak perusahaannya di Tiongkok dan membangun proyek besar Bahan Baru Rongsheng (Zhoushan).
Proyek ini akan membuat petrokimia berkinerja tinggi, seperti plastik rekayasa, poliester khusus, dan resin kelas atas yang dapat digunakan pada perangkat elektronik dan semikonduktor.
Arab Saudi telah secara signifikan memperkuat hubungan energinya dengan Tiongkok sejak tahun lalu.
Pada Maret 2023, Aramco sepakat untuk membeli 10 persen saham Rongsheng seharga 24,6 miliar yuan atau USD 3,5 miliar.
Sebagai bagian dari kesepakatan itu, mereka akan memasok 480.000 barel minyak mentah per hari ke perusahaan Tiongkok.
Tiongkok juga berupaya meningkatkan kehadirannya di Arab Saudi.
Sinopec, raksasa pengilangan milik negara, memiliki usaha patungan dengan Aramco yang mengoperasikan proyek kilang di Kota Industri Yanbu di Arab Saudi.
Perusahaan Pengilangan Yanbu Aramco Sinopec, yang telah beroperasi sejak 2016, menggunakan 400.000 barel per hari minyak mentah untuk memproduksi bahan bakar transportasi premium, menurut perusahaan tersebut.
Ramalan Sri Mulyani: Ekonomi AS Positif, China Nyungsep
Sebelumnya diberitakan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membandingkan kondisi perekonomian antara Amerika Serikat (AS) dan China. Diketahui, dua negara tersebut tengah terlibat dalam persaingan menjadi raksasa ekonomi dunia.
Sri Mulyani menyebut, saat ini, ekonomi Amerika Serikat berada dalam kondisi lebih baik ketimbang pesaingnya imbas kenaikan suku bunga oleh bank sentral setempat. Bahkan, ekonomi AS diproyeksikan mampu berada di zona positif hingga akhir tahun ini.
"Untuk Amerika nampaknya muncul lebih ada suatu harapan, karena resiliensi dari perekonomiannya, hingga akhir tahun ini. Sehingga, paling tidak perekonomian dunia terbesar bisa bertahan dengan kenaikan suku bunga yang luar biasa," ujar Sri Mulyani dalam acara Seminar Outlook Perekonomian Indonesia 2024 di Hotel St Regis, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (22/12).
Sebaliknya, perekonomian China justru tengah dalam tekanan akibat persoalan penuaan usia penduduk. Bendahara negara ini menilai permasalahan ekonomi yang dialami China bersifat struktural.
"Persoalan (China) yang kita lihat lebih ke fundamental seperti masalah aging, masalah properti yang NPL-nya walau pulih, tapi tidak bisa langsung beri pengaruh ke growth (pertumbuhan ekonomi) jadi ini masalah fundamental," urainya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menilai ketidakpastian perekonomian dunia pada tahun 2024 masih tinggi. Terlebih di sejumlah kawasan masih dilanda persoalan ketegangan geopolitik yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global.
"Dan itu menimbulkan downside risk. Jadi, kita tetap akan menghadapi 2024 dari sisi eksternalnya tidak friendly dan punya masalah fundamental," pungkas Sri Mulyani.
Advertisement