YLKI Tantang Capres Kendalikan Rokok demi Nasib Generasi Emas 2045

Dampak dari tingginya konsumsi rokok di masyarakat menentukan kualitas dari sumber daya manusia (SDM). Ini berkaitan juga dengan adanya potensi bonus demografi 2030 hingga generasi emas 2045.

oleh Arief Rahman H diperbarui 25 Jan 2024, 16:49 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2024, 14:46 WIB
Debat Capres 2024
Capres nomor urut 1, Anies Baswedan menyalami capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo di arena debat Capres 2024 di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Selasa (12/12/2023) malam. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menantang para Calon Presiden (Capres) berbicara cara mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Dia mengaitkan dengan upaya memperkuat kualitas generasi penerus.

Tulus mengatakan, saat ini upaya yang dilakukan pemerintah masih sebatas mengendalikan konsumsi di sisi hilir. Salah satunya adalah penerapan cukai rokok dan pajak rokok, termasuk rencana pajak rokok elektrik.

Dia memandang, dampak dari tingginya konsumsi rokok di masyarakat menentukan kualitas dari sumber daya manusia (SDM). Ini berkaitan juga dengan adanya potensi bonus demografi 2030 hingga generasi emas 2045.

"Tapi persoalan hulu tidak diatasi, mana dari copras capres ini berani bicara pengendalian konsumsi rokok, padahal itu salah satu hal terpenting didalam upaya mewujudkan generasi emas di 2045 dan bonus demografi di 2030," ungkap Tulus dalam Diskusi Publik YLKI, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Dia menilai, jika konsumsi rokok ini tidak dikendalikan dari hulu ke hilir, maka generasi emas yang dicita-citakan tidak akan tercapai. Pasalnya, konsumsi yang dinilai negatif ini bisa berdampak pada gaya hidup yang tidak sehat kedepannya.

"Saya berani jamin. Kenapa? karena konsumsi rokok yang sangat diminati itu menjadi persoalan gaya hidup yang tak bisa dihindari sehingga rakyat itu menjadi tidak sehat karena tingginya konsumsi merokok dan tingginya preferensi merokok di anak-anak remaja," jelasnya.

"Ya jadi, nanti kalau ada generasi emas, bonus demografi, ya generasi yang sakit-sakitan, generasi yang bengek. Karena kenapa? gaya hidupnya tidak sehat," sambung Tulus.

 

Perlu Upaya Komprehensif

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Lebih lanjut, jika upaya tersebut tidak dilakukan, Tulus berkelakar kalau kedepannya malah ada generasi cemas dan bukan generasi emas. Alhasil, cita-cita yang disusun sejak saat ini hanya berujung menjadi mitos atau mimpi.

"Ini sekali lagi nanti agar bonus demografi atau generasi emas itu tidak menjadi mitos tidak menjadi mimpi dengan gaya hidup yang terus dilakukan adalah gaya hidup tidak sehat. Jadi bukan gaya hidup program generasi emas tapi generasi cemas. orang tuanya cemas, anak-anaknya juga cemas, bagaimana bisa mencapai generasi emas kalau hanya sisi hilirnya saja," tuturnya.

Dengan begitu, diperlukan upaya yang komprehensif dari pemerintah. Baik pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga, dan pemerintah daerah.

"Jadi sekali lagi ini harus menjadi sebuah pengendalian yang komprehensif dari pemerintah lintas KL dengan membuat regulasi yang komprehensif," pungkasnya.

 

Kendalikan Sebaran Rokok

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk melarang iklan rokok di berbagai media periklanan. Iklan rokok dinilai kontraproduktif terhadap upaya pengendalian konsumsi.

Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan rokok termasuk dalam kategori barang abnormal meski legal di Indonesia. Maka, peredarannya perlu dikendalikan di tingkat masyarakat selaku konsumen.

"Dia legal karena sampai sekarang Indonesia dan banyak negara masih melegalkan rokok, tapi dia barang abnormal. Nah barang abnormal ini harus dikendalikan, perspektif perlindungan konsumennya juga berbeda dengan perlindungan konsumen pada barang normal," ucap Tulus dalam Diskusi Publik YLKI, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

 

Larang Iklan Rokok

Petugas Bea Cukai Gagalkan Peredaran Rokok Ilegal Lintas Provinsi
(Foto:Dok.Bea Cukai)

Atas dasar itu, peredaran iklan rokok perlu juga diatur dengan ketat. Bahkan, menurutnya, iklan rokok harus dilarang secara total di berbagai platform periklanan.

"Nah konsekuensinya apa, rokok sebagai barang abnormal maka iklan rokok menjadi sangat kontraproduktif, maka iklan rokok itu harus dilarang total," tegas dia.

"Jadi tidak sama dengan barang normal, karena rokok itu barang berbahaya jadi iklan rokok itu jadi kontraproduktif dan seharusnya dilarang total baik di media luar ruang, media elektronik, di media internet dan lain sebagainya," sambung Tulus.

Dia mengungkap, Indonesia masih jadi negara yang membolehkan iklan rokok. Sementara, sejumlah negara besar lain sudah melarang total iklan rokok sejak lama.

"Du seluruh dunia, iklan rokok itu sudah dilarang, hanya Indonesia yang masih melegalkan iklan rokok ya. Di Eropa itu sudah sejak tahun '60 iklan rokok dilarang, di Amerika tahun '73 sudah dilarang total.

Nah di kita yang masih berkecamuk dengan iklan rokok, promosi dan sponsorship yang masih sampai sekarang dilegalisasi oleh struktural yang paradoks sebetulnya," tuturnya.

Infografis: Redam Kanker dengan Cukai Rokok (Liputan6.com / Abdillah)
(Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya