Target EBT 2025 Sulit Tercapai, Ganjalannya Terlalu Banyak

Kementerian ESDM terus mendorong peluasan penggunaan energi baru terbarukan melalui pemakaian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) hingga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di sektor industri.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 02 Agu 2024, 18:45 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2024, 18:45 WIB
Bersama Menteri ESDM, DPR Bahas Pasokan Batu Bara untuk PLN
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif (kiri) menyampaikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/8/2022). Rapat membahas progres realisasi entitas khusus batu bara serta strategi dan kebijakan pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara untuk PT PLN (Persero). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut target bauran energi baru terbarukan (EBT) di 2025 akan sulit tercapai. Pasalnya, ada sejumlah kendala untuk bisa menembus target bauran EBT antara 17-19 persen di tahun depan.

"Target EBT 2025 kita (berpotensi) tidak mencapai bauran. Bauran paling cuman 13-14 persen, karena kan itu infrastruktur kita, dan juga masih ada bottleneck," jelas Arifin Tasrif di Kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (2/8/2024).

Di sisi lain, ia mengakui tingkat permintaan terhadap energi baru terbarukan sejauh ini belum naik secara pesat.

Kementerian ESDM pun terus mendorong peluasan penggunaan melalui pemakaian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) hingga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di sektor industri.

 

"Makanya program-program untuk mendorong demand harus kita lakukan. Contohnya EV terus kemudian PLTS untuk industri dan perumahan, ini harus bisa di dorong," tegas Arifin.

 

Adapun sebelumnya, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) telah merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 menjadi 17-19 persen, dari target sebelumnya sebesar 23 persen lewat pembaharuan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

DEN menyusun pembaharuan PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menyesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis yang selaras dengan komitmen perubahan iklim serta mengakomodasi upaya transisi energi menuju netral karbon 2060.

"Targetnya, 2023 dulu 23 persen. Dalam pembaharuan KEN, nanti kalau diketok, diteken Presiden, maka berubah menjadi 17-19 persen," kata Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan DEN, Yunus Saefulhak dikutip dari Antara beberapa waktu lalu.

Skenario Terendah

Yunus menjelaskan, perubahan target di kisaran angka tersebut dimaksudkan agar jika capaian target tetap masuk meski hanya tercapai di skenario angka terendah.

"Kalau skenario rendah di antaranya kita tercapai, ya sudah bagus, KEN menuntun jalan sesuai koridornya," ungkapnya.

Dalam peta jalan transisi energi pada Revisi PP KEN tersebut, ditargetkan pada tahun 2030 bauran energi primer EBT mencapai 19-21 persen, lalu pada 2030 sekitar 25-26 persen, kemudian pada 2040 ditargetkan mencapai 38-41 persen, hingga pada 2060 mendatang sebesar 70-72 persen.

Lantaran fokusnya pada transisi energi, Yunus mengatakan perubahan terbesar juga terjadi di target bauran EBT pada 2060 yang lebih besar. Ia menyebut di PP KEN lama, targetnya sebanyak 70 persen energi berasal dari fosil.

"Nanti di 2060, itu 70-72 persen EBT-nya, kalau dulu di PP KEN lama, itu 2050 70 persennya adalah fosil. Sekarang justru dibalik, 70 persen EBT, fosilnya jadi 30 persen," pungkas Yunus.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pemerintah Target Bauran EBT 23 Persen di 2025, Intip Progresnya

PLTS Terapung Cirata
PLTS Terapung Cirata hasil kerja sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan PLN yang berkolaborasi dengan Masdar dari Uni Emirat Arab (UAE). (BAY ISMOYO/AFP)

Sebelumnya, Bauran energi baru terbarukan (EBT) tiap tahunnya masih berada dibawah target. Diketahui selisih atau gap-nya berada di rata-rata 3 persen.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan hal itu terjadi sejak 2015-2016 lalu. Hingga saat ini gap yang tercatat masih di 3 persen.

"Di 2018 misalnya, angkanya 8,6 persen dari sisi bauran EBT, yang targetnya 11,6 persen dan saat ini juga segitu, di 2021 perhitungan sementara kami dari EBT itu 11,5 persen sedangkan target dari RUEN itu 14,5 persen," katanya dalam webinar Indonesia Economic Outlook 2022, Rabu (26/1/2022).

"Persis ini selisihnya tiga persen," imbuh Dadan.

Sementara, ia menyebut pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen di 2025. Mengacu dokumen RUPTL yang disusun PLN, dari segi roadmap itu mengarah pada bauran target tersebut.

"Kalau by perencanaan dan proyek bisa kami pastikan arahnya mencapai target 23 persen di 2025," katanya.

Di sisi lain, ditinjau dari potensi EBT di Indonesia, Dadan menyebut ada banyak potensi yang bisa dimanfaatkan.

"Kalau dari sisi potensi, kita punya luar biasa dari EBT, tak hanya besar tapi juga tersebar tak terfokus di satu tempat, kalau surya ada dimanapun, lalu hidro di wilayah barat di Aceh sampai wilayah timur itu di beberapa wilayah secara khusus memiliki potensi yang baik," katanya.

Kemudian, angin juga memiliki potensi energi di sejumlah titik meski tak sebesar hidro. Lalu, panas bumi juga memiliki potensi besar dan tersebar.

"Kita malah kini kedua terbesar dari sisi potensi dan kedua terbesar dari sisi pemanfaatan," katanya.


Keunggulan

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MWac atau setara dengan 192 MWp yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat. Dok PLN
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MWac atau setara dengan 192 MWp yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat. Dok PLN

Dengan adanya beragam potensi pemanfaatan EBT ini, kata dia, bisa menjadikan Indonesia lebih unggu dari negara lain. Misalnya, ia mencontohkan krisis energi di Eropa, sehingga terpaksa mengaktifkan kembali PLTU.

"Lihat Eropa si akhir tahun kemarin, si beberapa wilayah yang sangat maju, tapi karena hanya punya EBT yang tak se-variatif kita, (misal) mengembangkan surya dan angin di satu wilayah, saat terjadi terjadi gangguan cuaca sehingga (kemampuan EBT) anginnya berkurang," katanya.

"Dan secara sistem ini belum siap untuk menghadapi perubahan tersebit sehingga kita lihat terjadi dengan yang kita kenal di dalam bulan Oktober 2021 itu PLTU (di Eropa) dihidupkan kembali," tambahnya.

Ia menilai, dengan Indonesia mau untuk mengembangkan lebih dari satu pembangkit EBT di satu wilayah bisa menhindarkan dari risiko serupa.

"Nah kalau kita kembangkan dari sisi diversifikasi dari ebt, jadi kita manfaatkan surya, angin, hidro, hingga lain secara sekaligus jadi bauran baik, secara risiko dipengaruhi alamnya itu bisa kita minimalkan," katanya.

Infografis Optimisme KTT G20 di Tengah Krisis Pangan, Energi, Keuangan
Infografis Optimisme KTT G20 di Tengah Krisis Pangan, Energi, Keuangan (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya