Liputan6.com, Jakarta - Turunnya jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat bulan cuma isapan jempol belaka. Turunnya jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat ini sudah dibuktikan oleh para pelaku usaha manakan dan minuman.Â
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan, pelaku usaha makanan dan minuman olahan sudah terdampak fenomena turunnya daya beli masyarakat. Sayangnya, Adhi belum mau mengungkapkan nilai penurunan transaksi perdagangan pelaku usaha di bawah naungan GAPMMI.
Baca Juga
"Kami dari industri juga merasakan, memang daya beli kelas bawah ini agak berat," kata Adhi di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Advertisement
Penurunan daya beli masyarakat ini disebabkan oleh melambungnya aneka harga pangan. Di sisi lain, pendapatan masyarakat tidak mengalami kenaikan yang menyebabkan daya beli menurun.
"Karena memang beberapa kenaikan harga dan di samping itu banyak pengeluaran masyarakat yang harus ditanggung," tegas dia.
Atas kondisi tersebut, GAPMMI meminta pemerintah untuk kembali menggenjot penyaluran bantuan sosial (bansos). Antara lain bantuan langsung tunai (BLT) untuk segera menggenjot daya beli masyarakat.Â
"Kita berharap pemerintah bisa lebih fokus bagaimana meningkatkan daya beli kelas bawah ini. Misalnya BLT, BLTÂ itu mungkin perlu digalakkan lagi, supaya bisa menggairahkan pasar terlebih dahulu," tegas dia.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Kelas Menengah yang Turun Peringkat Makin Banyak, Ini Datanya
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menggelar press conference dengan tema Menjaga Daya Beli Kelas Menengah Sebagai Fondasi Perekonomian Indonesia pada hari ini. Dalam pemaparannya, BPS menyatakan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan pada 2023 jika dibanding 2019.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, jumlah kelas menengah di Indonesia turun. Tercatat, jumlah kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang. Jumlah penduduk kelas menengah ini menyumbang 21,45 persen dari proporsi penduduk.
Fenomena penurunan jumlah penduduk kelas menengah dipicu akibat dampak pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu. Namun, BPS tidak mengungkapkan jumlah penduduk kelas menengah pada 2020 lalu akibat anomali pandemi Covid-19.
"Kalau tahun 2020 agak anomalikan dia, pada saat pandemi covid 19. Datanya ada tapi tidak kami tampilkan," ujar Amalia, di Kantor Pusat BPS, Jumat (30/8/2024).
Pada 2021 jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan tajam menjadi 53,83 juta atau setara 19,82 proporsi penduduk. Dia menyebut, penurunan kelas menengah ini masih disebabkan oleh dampak pandemi Covid-19.
"Jadi, ini sudah kami prediksi akibat pandemi Covid-19 menimbulkan scarring effect," ujar dia.
Â
Advertisement
Terus Berlanjut
Fenomena penurunan jumlah kelas menengah ini kembali berlanjut pada 2022. BPS mencatat, jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 49,51 juta dari tahun sebelumnya atau setara 18,06 persen penduduk.
Pada tahun 2023 jumlah penduduk kelas menengah kembali menurun menjadi 48,27 jiwa. BPS mengonfirmasi jumlah penduduk kelas menengah itu setara 17,44 proporsi dari jumlah penduduk.
Adapun tahun ini jumlah penduduk kelas menengah juga kembali turun menjadi 47,85 juta jiwa. Jumlah penduduk kelas menengah tersebut setara 17,13 persen proporsi penduduk.
Amalia mengatakan, kategori penduduk kelas menengah mengacu pada penduduk yang memiliki pengeluarannya berkisar 3,5 - 17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia. Angka ini sekitar pengeluaran Rp 2.040.262 - Rp 9.909.844 per kapita per bulan pad 2024.