Indonesia Bisa Deflasi 7 Bulan Beruntun, Pilkada Bukan Jawaban

Ekonom sanksi jika gelaran Pilkada serentak pada November 2024 mendatang bakal memutus kelanjutan deflasi.

oleh Arthur GideonMaulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 07 Okt 2024, 17:15 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2024, 17:15 WIB
Dipengaruhi Beragam Faktor, Daya Beli Masyarakat Menengah Menurun
Penurunan daya beli dipengaruhi sejumlah faktor yaitu deflasi tiga bulan berturut-turut, menurunnya kinerja industri manufaktur. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memperkirakan tren deflasi akan terus berlanjut hingga November 2024. Berarti, Indonesia diramal belum bakal mengalami inflasi secara bulanan (month to month) selama 7 bulan beruntun. 

Menurut dia, tren deflasi baru akan teratasi ketika harga komoditas pangan semisal beras mulai kembali terangkat. Sementara saat ini suplai dan produksi ada, namun banyak masyarakat tidak mampu beli. 

"Deflasi bisa terjadi sampai 7 bulan. Ketika beras katakan lah produksi mulai turun, biasanya itu mulai terjadi di Desember-Januari, akan ada perlambatan," ujar Tauhid kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).

Di sisi lain, Tauhid sanksi jika gelaran Pilkada serentak pada November 2024 mendatang bakal memutus kelanjutan deflasi. Pasalnya, ia menilai Pilkada tidak mendorong daya beli masyarakat secara menyeluruh. 

"Saya kira kalau Pilkada enggak. Karena kalau kita lihat tidak banyak pertumbuhan (ekonomi) di masyarakat, hanya spanduk-spanduk aja. Konsumsinya ternyata lebih kecil dari perkiraan," ungkap dia.

Tauhid percaya momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024 nanti bisa mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat. Hanya saja, pertumbuhannya diramal tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.

"Jadi hanya momentum Nataru saja, liburan, itu pasti ada. Tapi kalau kondisi begini, kenaikannya juga dikit. Karena masyarakat lagi enggak punya uang untuk Natal atau Tahun Baru. Sedikit yang bisa melakukan itu," kata Tauhid.

 

Konsumsi Rumah Tangga

Indonesia Alami Deflasi Lima Bulan Berturut-turut
Pedagang tertidur diantara kios yang sepi pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Selasa, (1/10/2024). (merdeka.com/Arie Basuki)

"Situasinya berbeda dengan tahun lalu, masih agak lumayan. Kalau sekarang agak buruk. Tahun lalu kan deflasinya hanya satu bulan di Agustus, setelah itu inflasi lagi. Pasti Natal dan Tahun Baru ada pengaruh positif, tetapi tidak akan sebesar tahun lalu," urainya. 

Lebih lanjut, Tauhid menyebut pertumbuhan konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) yang belum mencapai 5 persen jadi persoalan. Ia lantas membeberkan data yang jadi penyebab utama penurunan daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan deflasi 5 bulan beruntun.

"Misalnya pada melemahnya kredit, kredit berkurang. Kemudian pembelian kendaraan roda dua (Agustus 2024), itu juga kan turun 4,1 persen. Kemudian simpanan, terutama yang dibawah Rp 100 juta di rekening-rekening itu malah jauh turun. Rekeningnya banyak tapi simpanan per rekeningnya jauh lebih rendah. Sudah mulai makan tabungan lah. Itu kan statemennya OJK," urainya.

"Saya kira fenomena itu yang menjelaskan kenapa deflasi 5 bulan berturut-turut ini berat. Saya kira di situ indikasi-indikasi, ada persoalan daya beli, meskipun di satu sisi suplai lagi baik, tapi bukan itu faktor utamanya," pungkas Tauhid. 

Jokowi Buka Suara soal RI Deflasi 5 Bulan Berturut-turut

Indonesia Alami Deflasi Lima Bulan Berturut-turut
BPS juga mengungkap bahwa penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi penyebab deflasi bulanan (month to month/mtm) pada September 2024 lebih besar dibanding bulan lalu atau Agustus 2024. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia kembali mengalami deflasi pada bulan September 2024. Artinya, Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

BPS mencatat, pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12% secara bulanan, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.

Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta publik memeriksa betul apa penyebab dari deflasi tersebut.

“(Apa) sebab penurunan harga barang? pasokannya baik, distribusinya baik, transportasi nggak ada hambatan atau (apa) karena memang ada daya beli yang berkurang?,” kata Jokowi kepada awak media di IKN, Minggu (6/10/2024).

Meski begitu, Jokowi memastikan deflasi dan inflasi harus dikendalikan, sehingga harga barang tetap stabil dan tidak merugikan produsen seperti petani, nelayan, pedagang UMKM atau pun pabrikan termasuk konsumen.

“Jangan sampai harga-harga terlalu rendah supaya produsen tidak dirugikan, supaya petani yang produksi tidak dirugikan. Itu menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus,” pesan presiden.

Ingatkan soal Momen Kelam Tahun 1999

Indonesia Alami Deflasi Lima Bulan Berturut-turut
Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan minuman dan tembakau, dengan deflasi sebesar 0,59% dan memberikan andil deflasi 0,17%.(merdeka.com/Arie Basuki)

Diketahui deflasi lima bulan berturut-turut membuat publik khawatir momen kelam pelemahan ekonomi tahun 1999 akan terulang.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan, deflasi pada tahun 1999 waktu itu terjadi selama tujuh bulan berturut-turut. Dalam catatannya, deflasi terjadi pada Maret hingga September.

Selain itu, Amalia juga mencatat, deflasi secara berturut-turut juga pernah terjadi pada Desember 2008 sampai dengan Januari 2009 akibat anjloknya harga minyak dunia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya