PPN 12% Bikin Daya Beli Masyarakat Makin Anjlok, Benarkah?

Gapmmi menilai kenaikan PPN 2025 akan berdampak besar pada rantai pasok, kenaikan bahan baku dan biaya produksi.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 25 Nov 2024, 20:50 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2024, 20:43 WIB
Pengusaha Minta Anies Izinkan Mal Beroperasi Normal
Suasana salah satu pusat berbelanjaan di Jakarta, Sabtu (12/9/2020). Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta ritel modern dan mal agar tetap bisa beroperasi selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total di DKI yang mulai dilaksanakan 14 September 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana implementasi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% mulai 1 Januari 2025.

Menurut dia, kenaikan PPN 2025 akan berdampak besar pada rantai pasok, kenaikan bahan baku dan biaya produksi. Ujungnya akan terjadi kenaikan harga jasa/produk, yang melemahkan daya beli masyarakat, sehingga utilitas penjualan tidak optimal.

"Terlebih pada produk pangan yang sangat sensitif terhadap harga, masyarakat akan mengerem konsumsinya. Hal ini akan memperlambat laju konsumsi rumah tangga," ujar Adhi, Senin (25/11/2024).

Peran Konsumsi Rumah Tangga

Sebagai catatan, konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi berkontribusi sebesar 53,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, menunjukkan tren pelemahan.

Pada kuartal III 2024, konsumsi hanya mampu tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal II 2024 sebesar 4,93 persen.

"Industri makanan minuman merupakan motor penggerak transaksi di berbagai pelaku ritel, baik di pasar tradisional maupun modern," imbuh Adhi.

Adhi menilai, peningkatan omset dan peredaran uang melalui transaksi perdagangan dari berbagai kanal dapat membantu meningkatkan aktivitas ekonomi dan pendapatan negara. Strategi ini sangat penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi, sekaligus memperkuat kontribusi sektor perdagangan terhadap penerimaan negara.

"Kenaikan PPN akan berpotensi menekan pertumbuhan industri makanan minuman, sehingga dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional. Apalagi pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi untuk menuju 8 persen, perlu didukung semua sektor," sebutnya.

Oleh karenanya, Gapmmi berharap pemerintah akan memilih langkah lain untuk meningkatkan penerimaan negara. Misal, dengan menerapkan ektensifikasi PPN yang masih berpotensi besar, dibandingkan menaikkan tarif.

"Apalagi sangat dimungkinkan dalam UU 7/2021 pasal 7 ayat 3, menyatakan tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen," tutur dia.

KIP: Belum Ada Laporan Masyarakat Terkait PPN jadi 12%

Melihat Layanan Ramah Disabilitas di Kantor Pajak
Berbagai sarana dan prasarana yang sudah disiapkan pihaknya untuk memfasilitasi penyandang disabilitas, mulai dari guiding block untuk memandu tuna netra, hingga ketersediaan kursi roda serta tongkat untuk membantu mereka yang kesulitan berjalan. (merdeka.com/Arie Basuki)

Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Rospita Vici Paulyn mengaku pihak belum menerima keluhan dari masyarakat terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025 mendatang.

"Sejauh ini belum ada," ungkap Vici kepada media, Jakarta, Senin (25/11).

Vici menjelaskan prosedur yang harus diikuti masyarakat terkait PPN 12 persen adalah menyampaikan keluhan atau permohonan informasi terlebih dahulu kepada badan publik terkait melalui Sekretariat Negara.

Setelah itu, jika masyarakat tidak mendapatkan respons yang baik dari badan publik tersebut, barulah mereka dapat mengajukan pengaduan ke Komisi Informasi (KI).

Vici menegaskan prosedur ini wajib dilakukan karena sifat Komisi Informasi yang pasif, di mana mereka hanya dapat menangani pengaduan yang diajukan secara resmi dan tertulis oleh masyarakat.

"Nah, setelah itu baru, kalau tidak mendapat respon yang baik, baru bisa mengadu ke Komisi Informasi. Jadi prosedurnya harus seperti itu, karena tadi sekali lagi saya sampaikan, Komisi Informasi itu sifatnya pasif, kami harus menerima pengaduan dari masyarakat, dan pengaduan itu harus sifatnya tertulis dan resmi," terang dia.

Vici menerangkan sebenarnya tidak ada kendala spesifik terkait pelaporan, namun masyarakat tidak bisa langsung mengadu ke Komisi Informasi. Mereka harus terlebih dahulu mengajukan permohonan atau keluhan ke badan publik terkait. Jika badan publik tidak memberikan respons yang memadai, barulah pengaduan dapat diajukan ke Komisi Informasi.

"Sebenarnya kalau kita bicara kendala, nggak ada. Cuma prosedurnya itu, masyarakat harus, nggak bisa langsung ke Komisi Informasi. Jadi masyarakat harus ke badan publiknya dulu. Kalau badan publiknya tidak merespon dengan baik, baru bisa ke Komisi Informasi," bebernya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya