Aksi jual besar-besaran di beberapa negara berkembang, telah melemahkan sejumlah mata uang di negara-negara tersebut. Namun, dalam kekacauan ekonomi tersebut, ada satu mata uang negara berkembang yang tetap gagah dan kuat. Mata uang tersebut adalah yuan China.
Seperti dilansir dari CNBC, Kamis (22/8/2013), dalam beberapa bulan tearkhir, nilai yuan menguat 0,3% terhadap dolar. Penguatan ini menunjukkan perbedaan kontras dengan rupiah atau rupee dari India. Dua mata uang tersebut melemah bersamaan sebesar 7-7,5% terhadap dolar di tengah kekhawatiran penghentian program stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Surplus perdagangan China dan data ekonomi yang membaik menarik para investor untuk kembali pada yuan. Hal ini mengingat China adalah negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
"China saat ini berada di posisi yang lebih kuat dibandingkan kebanyakan negara berkembang lainnya. Transaksi berjalannya merupakan hal besar," jelas Kepala Ahli Strategi Pendapatan dan Mata Uang di Macquarie, Nizam Indris.
Dia menilai, pasangan yuan-dolar AS akan menguat 6 poin di akhir tahun mendatang dari 6,2 poin saat ini.
Transaksi berjalan China saat ini menghasilkan surplus sebesar US$ 48,2 miliar pada kuartal II meningkat dari US$ 74,6 miliar pada kuartal I.
"Meskipun pertumbuhan negara-negara berkembang melambat, negara yang melakukan reformasi seperti China akan lebih unggul," lanjutnya.
Reformasi yang dimaksud adalah sejumlah upaya pemerintah untuk menyeimbangkan investasi dengan konsumsi negara dan seluruh sistem keuangan negara.
Sementara itu Kepala Asian Currency Research di HSBC Paul Mackel mengatakan, data impor dan produksi industrial China saat ini lebih baik daripada prediksi analis. Data tersebut meyakinkan negara-negara lain bahwa aliran modal keluar (capital outflow) dari China akan melambat.
Pembelian mata uang asing juga tercatat menurun sebesar 24,5 miliar yuan pada Juli setelah merosot sebesar 41,2 miliar pada Juni. Menurutnya, hal ini menandakan capital outflow akan terus berlanjut.
Faktor lain yang juga menyokong yuan adalah besarnya selisih suku bunga antara yuan dan dolar AS. Mackel mengatakan, People's Bank China mengelola kebijakan moneternya dengan baik.
"Dengan demikian, kekuatan yuan sulit untuk diruntuhkan," ujar Mackel seperti ditulis dalam laporan terbarunya.
Namun menurut Idris, data ekonomi AS yang terus membaik berpotensi menurunkan minat pasar terhadap yuan. (Sis/Igw)
Seperti dilansir dari CNBC, Kamis (22/8/2013), dalam beberapa bulan tearkhir, nilai yuan menguat 0,3% terhadap dolar. Penguatan ini menunjukkan perbedaan kontras dengan rupiah atau rupee dari India. Dua mata uang tersebut melemah bersamaan sebesar 7-7,5% terhadap dolar di tengah kekhawatiran penghentian program stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Surplus perdagangan China dan data ekonomi yang membaik menarik para investor untuk kembali pada yuan. Hal ini mengingat China adalah negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
"China saat ini berada di posisi yang lebih kuat dibandingkan kebanyakan negara berkembang lainnya. Transaksi berjalannya merupakan hal besar," jelas Kepala Ahli Strategi Pendapatan dan Mata Uang di Macquarie, Nizam Indris.
Dia menilai, pasangan yuan-dolar AS akan menguat 6 poin di akhir tahun mendatang dari 6,2 poin saat ini.
Transaksi berjalan China saat ini menghasilkan surplus sebesar US$ 48,2 miliar pada kuartal II meningkat dari US$ 74,6 miliar pada kuartal I.
"Meskipun pertumbuhan negara-negara berkembang melambat, negara yang melakukan reformasi seperti China akan lebih unggul," lanjutnya.
Reformasi yang dimaksud adalah sejumlah upaya pemerintah untuk menyeimbangkan investasi dengan konsumsi negara dan seluruh sistem keuangan negara.
Sementara itu Kepala Asian Currency Research di HSBC Paul Mackel mengatakan, data impor dan produksi industrial China saat ini lebih baik daripada prediksi analis. Data tersebut meyakinkan negara-negara lain bahwa aliran modal keluar (capital outflow) dari China akan melambat.
Pembelian mata uang asing juga tercatat menurun sebesar 24,5 miliar yuan pada Juli setelah merosot sebesar 41,2 miliar pada Juni. Menurutnya, hal ini menandakan capital outflow akan terus berlanjut.
Faktor lain yang juga menyokong yuan adalah besarnya selisih suku bunga antara yuan dan dolar AS. Mackel mengatakan, People's Bank China mengelola kebijakan moneternya dengan baik.
"Dengan demikian, kekuatan yuan sulit untuk diruntuhkan," ujar Mackel seperti ditulis dalam laporan terbarunya.
Namun menurut Idris, data ekonomi AS yang terus membaik berpotensi menurunkan minat pasar terhadap yuan. (Sis/Igw)