Bank Indonesia (BI) mengatakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) berjanji akan mengkomunikasikan kebijakan tapering off secara halus agar tidak menimbulkan kepanikan dari para pelaku pasar. Pasarnya selama ini, pasar cukup bereaksi terhadap rencana menarik stimulus senilai US$ 85 miliar per bulan itu.
"Dalam tiga bulan ini, AS memastikan akan berkomunikasi dengan baik (Quantitative Easing) dengan baik supaya tidak membuat pasar menjadi panik dan kaget," terang Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (16/9/2013) malam.
Sejak pengumuman rencana tapering off pada 23 Mei 2013, dia mengaku sudah terjadi kepanikan dari sejumlah pelaku pasar. Pasalnya, pemilik dana di luar negeri atau institusional investor bakal melakukan reposisi aset akibat adanya tapering off.
"Pelaku pasar ingin bereaksi cepat merespons dulu-duluan dibanding pembuat kebijakan. Padahal pembuat kebijakannya belum melakukan apa-apa. Diharapkan institusional investor dapat memahami bahwa AS tidak akan melakukan tapering off dengan prinsip ketidakhati-hatian," ujar Agus.
Di Indonesia sendiri, dia menilai, pemerintah dan BI akan menjaga rencana jangka pendek, menengah serta panjang dalam waktu tiga bulan ini untuk mengendalikan inflasi, memperbaiki defisit neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan transaksi berjalan melalui pengendalian impor yang terlampau besar.
"Defisit neraca tersebut saat ini tengah menjadi sorotan dari investor kepada Indonesia untuk mengukur kekuatan dan prospek fundamental ekonomi negara ini. Jika ini bisa teratasi, pasar akan kembali percaya dengan Indonesia dan tetap memilih Indonesia sebagai tujuan investasi dibanding negara lain," harap dia.
Dia menganggap, alasan Indonesia masih mengandalkan investor institusi asing untuk masuk ke negara ini lantaran Indonesia sedang menghadapi defisit transaksi berjalan yang membutuhkan pendanaan dari masuknya investasi penanam modal asing.
"Defisit transaksi berjalan ini kan digunakan untuk membiayai ekonomi Indonesia, jadi kita butuh dukungan dana dari investor asing demi mengatasi neraca pembayaran kita," papar dia.
Kuncinya, kata Agus, terletak pada pembenahan reformasi struktural yang memperhatikan aspek-aspek hubungan industrial, seperti perburuhan, infrastruktur termasuk listrik, pelabuhan, jalan, perizinan, high cost economy karena korupsi.
"Kalau ini bisa dilakukan, Indonesia bisa membangun kepercayaan diri investor sehingga kita akan punya struktural ekonomi yang lebih baik," tukas dia. (Fik/Nur)
"Dalam tiga bulan ini, AS memastikan akan berkomunikasi dengan baik (Quantitative Easing) dengan baik supaya tidak membuat pasar menjadi panik dan kaget," terang Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (16/9/2013) malam.
Sejak pengumuman rencana tapering off pada 23 Mei 2013, dia mengaku sudah terjadi kepanikan dari sejumlah pelaku pasar. Pasalnya, pemilik dana di luar negeri atau institusional investor bakal melakukan reposisi aset akibat adanya tapering off.
"Pelaku pasar ingin bereaksi cepat merespons dulu-duluan dibanding pembuat kebijakan. Padahal pembuat kebijakannya belum melakukan apa-apa. Diharapkan institusional investor dapat memahami bahwa AS tidak akan melakukan tapering off dengan prinsip ketidakhati-hatian," ujar Agus.
Di Indonesia sendiri, dia menilai, pemerintah dan BI akan menjaga rencana jangka pendek, menengah serta panjang dalam waktu tiga bulan ini untuk mengendalikan inflasi, memperbaiki defisit neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan transaksi berjalan melalui pengendalian impor yang terlampau besar.
"Defisit neraca tersebut saat ini tengah menjadi sorotan dari investor kepada Indonesia untuk mengukur kekuatan dan prospek fundamental ekonomi negara ini. Jika ini bisa teratasi, pasar akan kembali percaya dengan Indonesia dan tetap memilih Indonesia sebagai tujuan investasi dibanding negara lain," harap dia.
Dia menganggap, alasan Indonesia masih mengandalkan investor institusi asing untuk masuk ke negara ini lantaran Indonesia sedang menghadapi defisit transaksi berjalan yang membutuhkan pendanaan dari masuknya investasi penanam modal asing.
"Defisit transaksi berjalan ini kan digunakan untuk membiayai ekonomi Indonesia, jadi kita butuh dukungan dana dari investor asing demi mengatasi neraca pembayaran kita," papar dia.
Kuncinya, kata Agus, terletak pada pembenahan reformasi struktural yang memperhatikan aspek-aspek hubungan industrial, seperti perburuhan, infrastruktur termasuk listrik, pelabuhan, jalan, perizinan, high cost economy karena korupsi.
"Kalau ini bisa dilakukan, Indonesia bisa membangun kepercayaan diri investor sehingga kita akan punya struktural ekonomi yang lebih baik," tukas dia. (Fik/Nur)