Langkah merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis) menuai kritik dari berbagai kalangan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku belum menyetujui merger XL dan Axis.
KPPU telah melakukan penilaian awal terhadap aksi korporasi dua perusahaan telekomunikasi tersebut. Hasil penilaian awal itu akan selesai pada pertengahan Desember 2013.
"KPPU tidak mengurusi masalah merger frekuensi, sebab kami fokus pada kondisi pasar. Kami akan mengawal bagaimana kepemilikan frekuensi tersebut akan berdampak terhadap pangsa pasar perusahaan hasil merger. Untuk merger frekuensi, kami serahkan aturannya ke pemerintah," kata Muhammad Syarkawi Rauf, anggota Komisioner KPPU, Senin (9/12/2013).
Menurut Syarkawi, KPPU akan meninjau kembali merger XL Axiata-Axis, jika ditemukan bukti adanya monopoli akibat kepemilikan spektrum frekuensi tersebut.
Selain itu, kejanggalan lainnya muncul saat Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring tak menggubris permintaan Hatta Rajasa yang notabene adalah ‘atasannya’ dalam struktur kabinet yang dipimpin Presiden SBY.
Jika terbukti ada dugaan konsentrasi pasar yang menyalahi regulasi, KPPU akan meningkatkan pengawasan menjadi penilaian menyeluruh.
Fokus kajian KPPU adalah kepemilikan sejumlah frekuensi perusahaan pascamerger dan pengaruhnya terhadap industri seluler Indonesia.
Dia menilai satu hal yang menarik dari proses merger XL Axiata-Axis adalah spektrum frekuensi. Sebab pascamerger, kepemilikan spektrum frekuensi XL Axiata-Axis sebesar 55 MHz, lebih tinggi dari operator terbesar PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) yang 50 MHz.
Jumlah pelanggannya juga bertambah menjadi sekitar 60 juta pengguna, lebih tinggi dari PT Indosat Tbk (ISAT), operator kedua terbesar di Indonesia.
Berdasar pengamatan KPPU, Telkomsel dengan lebar pita 50 MHz harus melayani lebih dari 100 juta pelanggan. Sementara XL Axiata-Axis hanya melayani 60 juta pengguna dengan lebar pita 55 MHz.
Ini memungkinkan pelanggan operator lain berpindah ke perusahaan merger XL Axiata-Axis, demi mendapatkan layanan seluler yang lebih baik. Sebab, apabila lebar pita makin banyak dan jumlah pengguna sedikit, maka layanan seluler lebih bagus.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menyetujui niat XL Axiata untuk meminang Axis pada 2 Desember 2013 lalu.
Dalam persetujuannya, Menkominfo mengambil 10 Mhz di frekuensi 2.100 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis. Namun, Kominfo memberikan semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL setelah akuisisi berlangsung.
DPR Siap Panggil Menkominfo
Aksi ini juga menuai penolakan anggota dewan. Pasalnya, aksi bisnis ini dinilai janggal dan berpotensi merugikan konsumen serta negara. Merger XL dan Axis dinilai bertentangan dengan regulasi serta menimbulkan konsentrasi pasar yang tinggi.
Bahkan, Komisi I DPR berencana meminta klarifikasi Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Tifatul Sembiring karena memberikan persetujuan atas aksi merger XL dan Axis tersebut.
Anggota DPR dari Komisi I Tantowi Yahya secara tegas mengatakan, pemberian semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL bertentangan dengan regulasi.
"Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Apalagi jika hal itu hanya didasarkan pada aspek komersial semata," kata Tantowi.
Menurut politisi dari Partai Golkar itu, frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya adalah peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat. Bukan potensi sekadar pendapatan negara saja. Dengan demikian masyarakat berhak menikmati layanan hingga ke pelosok.
Tantowi mengatakan, akuisisi dan merger di industri adalah hal biasa dan telah diatur dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas.
Namun menyangkut industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk aset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
"Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi tidak merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah," tegas dia.
Tantowi mengakui, dari sisi peraturan yang membawahinya terdapat ambigu. Dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri.
Meski peraturan membolehkan menteri untuk mengalihkan izin frekuensi, Tantowi menilai aspek kepentingan bangsa alias Merah Putih harusnya lebih dikedepankan, sehingga perlu dikonsultasikan dengan stakeholder lainnya.
Karenanya, imbuh Tantowi, agar tidak berpotensi merugikan negara, seluruh frekuensi yang dikelola Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulang dan dikelola operator memiliki komitmen mewujudkan inklusi telekomunikasi.
“Selama ini, perusahaan asing di Indonesia terbukti hanya mencari keuntungan bisnis semata, bukan untuk kepentingan masyarakat luas hingga ke pelosok tanah air,” ujarnya.
Tantowi juga mengatakan, pengalihan frekuensi 1.800 Mhz kepada XL juga tidak tepat, karena spektrum ini lebih sesui dengan kebutuhan masyarakat di pelosok lebih banyak menggunakan 1800 (2G).
Padahal selama ini, XL terbukti jelas mangkir dari komitmen modern licensing, yang mengharuskannya membangun hingga ke pedesaan dan perbatasan.
Dia mengaku curiga, frekuensi 1.800 Mhz ini kelak lebih banyak dimanfatkan oleh XL untuk menggelar LTE (long term evolution) sehingga memperkuat posisi XL untuk menggelar 4G, yang akan memberikan operator Malaysia itu keunggulan pada layanan data.
Sekedar diketahui, banyak negara telah menggelar 4G di jaringan 1.800 Mhz, sebab dari segi ekosistemnya lebih matang ketimbang spektrum yang lain.
Pada kesempatan yang sama, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Ikhsan Mojo menilai merger XL dan Axis berpotensi mengganggu pangsa pasar di industri telekomunikasi Indonesia. Pasalnya, ada pemain lain yang akan terlampaui konsentrasi pasarnya jika XL dan Axis merger.
Terlebih lagi, konsentrasi pasar perlu diperhatikan regulator dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar tidak terjadi pelanggaran seperti 2008-2009.
Senada dengan Tantowi Yahya dan Ikhsan Mojo, anggota DPR dari F-PAN Chandra Tirta Wijaya mengatakan bahwa Menkominfo Tifatul Sembiring keliru dalam mengambil keputusan terkait merger XL-Axis. Untuk itu, Komisi I DPR lanjut dia, akan meminta Menkominfo klarifikasi kepada DPR.
“Merger antara XL-Axis tersebut berisiko merugikan negara, akibat peralihan frekuensi dari perusahaan Arab Saudi itu kepada perusahaan Malaysia itu. Penguasaan frekuensi kepada asing selama ini justru pemanfaatannya tidak maksimal,” tegas Chandra.
Pemegang saham pengendali XL adalah Axiata Investments (66,5%). Axiata Group Berhard ini dinakhodai Dato' Sri Jamaludin Ibrahim asal Malaysia, sedangkan Saudi Telecom Company (STC), perusahaan Arab Saudi merupakan pemegang saham terbesar Axis dengan kepemilikan 80,1% saham.
Pasca merger, XL kini menguasai 22,5 Mhz di rentang spektrum 900 MHz dan 1.800 MHz (2G), serta 15 Mhz di 2.100 MHz (3G).
Dengan dua senjata ini, XL diprediksi akan mampu menguasai pasar industri selular dalam tempo 3-5 tahun ke depan, khususnya layanan data yang semakin “happening”. Ini berarti operator Malaysia akan semakin dominan di Indonesia. (Nrm)