Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menantang pemerintah untuk melakukan reformasi tata ruang sebagai langkah penanggulangan banjir di wilayah Ibukota.
Salah satunya dengan merelokasi warga yang memiliki hunian di sekitar daerah resapan air. Ketua Umum Apersi, Eddy Ganefo mengakui, telah mengimbau pemerintah menerapkan reformasi tata ruang sejak lama.
"Dari tahun-tahun sebelumnya, kami sudah katakan berani tidak pemerintah lakukan reformasi tata ruang. Contohnya membenahi waduk-waduk," kata dia di Jakarta, Senin (20/1/2014).
Dia menerangkan, reformasi tata ruang seperti pembenahan waduk merupakan upaya cukup sulit mengingat pemerintah perlu menyediakan lahan pengganti guna merelokasi warga yang tinggal di sekitar waduk.
"Relokasi kan perlu biaya sebagai ganti rugi pemindahan tapi itu harus dilakukan karena sekitar waduk merupakan lokasi serapan air dan tidak boleh diperuntukkan bagi pembangunan rumah," jelasnya.
Terkait banyak pengembang yang justru membangun perumahan di kawasan serapan air, Eddy menyerahkan kembali kepada pemerintah.
"Lho jangan salahkan pengembang. Mereka kan bisa bangun rumah di sana karena sudah dapat izin dari pemerintah," cetus dia.
Meski begitu, Eddy mengungkapkan, tak sedikit pengembang membangun perumahan di lokasi-lokasi non rawan banjir. Namun seiring berjalannya waktu, lokasi tersebut bisa berubah menjadi rawan banjir.
"Harusnya pengembang memang tidak boleh bangun di lokasi rawan banjir. Tapi ada juga kok yang tidak melakukan hal itu, lalu setelah 10 tahun biasanya lokasi perumahan itu berubah jadi daerah banjir," pungkas Eddy. (Fik/Ahm)
Baca juga:
Sosiolog: Banjir Akibat Ketamakan Manusia
Pemerintah Tanggung Biaya Kesehatan dan Makan Korban Banjir
400 Vila Liar di Puncak Dibongkar Mulai Februari
Salah satunya dengan merelokasi warga yang memiliki hunian di sekitar daerah resapan air. Ketua Umum Apersi, Eddy Ganefo mengakui, telah mengimbau pemerintah menerapkan reformasi tata ruang sejak lama.
"Dari tahun-tahun sebelumnya, kami sudah katakan berani tidak pemerintah lakukan reformasi tata ruang. Contohnya membenahi waduk-waduk," kata dia di Jakarta, Senin (20/1/2014).
Dia menerangkan, reformasi tata ruang seperti pembenahan waduk merupakan upaya cukup sulit mengingat pemerintah perlu menyediakan lahan pengganti guna merelokasi warga yang tinggal di sekitar waduk.
"Relokasi kan perlu biaya sebagai ganti rugi pemindahan tapi itu harus dilakukan karena sekitar waduk merupakan lokasi serapan air dan tidak boleh diperuntukkan bagi pembangunan rumah," jelasnya.
Terkait banyak pengembang yang justru membangun perumahan di kawasan serapan air, Eddy menyerahkan kembali kepada pemerintah.
"Lho jangan salahkan pengembang. Mereka kan bisa bangun rumah di sana karena sudah dapat izin dari pemerintah," cetus dia.
Meski begitu, Eddy mengungkapkan, tak sedikit pengembang membangun perumahan di lokasi-lokasi non rawan banjir. Namun seiring berjalannya waktu, lokasi tersebut bisa berubah menjadi rawan banjir.
"Harusnya pengembang memang tidak boleh bangun di lokasi rawan banjir. Tapi ada juga kok yang tidak melakukan hal itu, lalu setelah 10 tahun biasanya lokasi perumahan itu berubah jadi daerah banjir," pungkas Eddy. (Fik/Ahm)
Baca juga:
Sosiolog: Banjir Akibat Ketamakan Manusia
Pemerintah Tanggung Biaya Kesehatan dan Makan Korban Banjir
400 Vila Liar di Puncak Dibongkar Mulai Februari