Liputan6.com, Jakarta - Nasi Tumpeng selalu identik dengan perayaan, syukuran. Dalam budaya masyarakat Jawa, pemotongan nasi tumpeng kerap menjadi simbol dari sebuah acara penting.
Acara pemotongan tumpeng juga bisa diartikan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan, sekaligus ungkapan rasa kebersamaan dan kerukunan. Sebab, biasanya di akhir perayaan, nasi tumpeng ini dinikmati secara bersama-sama.
Di Liputan6.com, kami juga memaknai nasi berbentuk kerucut itu kurang lebih sama. Dengan tumpeng juga situs berita tercinta ini menggelar syukuran atas peluncuran buku "Indonesia Rumah Kita".
Advertisement
Acara ini digelar di Gedung KapanLagi Youniverse (KLY), di bilangan Gondangdia, Cikini, Jakarta, Jumat (18/10). Hadir dalam acara ini, Wenceslaus Manggut, Direktur Content KLY, yang merupakan induk Liputan6.com serta rekan-rekan dari tim sales.
Â
Ini jelas bukan buku biasa. Selain merupakan buku pertama yang dirilis Liputan6.com, buku ini juga lahir dari keresahan awak Redaksi lantaran kecenderungan semakin eksklusifnya masyarakat dalam memunculkan gagasan-gagasan per kelompok.
Hal itu dilakukan untuk mencari kekuatan dan menekan yang lemah sehingga mengikis nilai-nilai keberagamaan. Padahal, keberagaman adalah nilai utama Indonesia yang harus dirawat agar lestari adanya.
"Kami merasa terpanggil untuk mengingatkan agar ekskalasinya tidak semakin besar dan mengganggu keberagaman Indonesia," ujar Irna Gustiawati, Pemimpin Redaksi Liputan6.com. "Buku Indonesia Rumah Kita adalah bentuk kontribusi Liputan6.com untuk negeri ini."
Melulu Keberagaman
Maka itu, sesuai judulnya, buku ini melulu memuat artikel-artikel yang berkaitan dengan keberagaman. Penulis-penulis yang didaulat juga bukan sembarang. Redaksi sengaja memilih sosok-sosok penulis ternama yang selama ini memang dikenal concern dengan masalah keberagaman.
Sebut saja Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, seorang ulama, ilmuwan dan pendidik, yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ada juga budayawan Sujiwo Tejo serta Butet Kertaradjasa, aktivis Linda Christanty, Alissa Wahid, putri Presiden keempat RI, K. H. Abdurrahman Wahid, dan banyak lagi.
Menariknya, artikel-artikel dalam buku ini juga disertai barcode, sehingga pembaca bisa langsung melihat visual dari artikel terkait dengan cara memindainya.
Buku ini yang juga didukung penuh oleh tim sales KLY ini dibagikan kepada para wakil rakyat di Gedung MPR-DPR, Senayan Jakarta, jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024, Minggu (20/10). Sementara bagi pembaca yang berminat, bisa menghubungi Liputan6.com, melalui surel atau Instagram di akun @liputan6.
Acara syukuran buku "Indonesia Rumah Kita" ini sendiri diawali dengan program "Dear Netizen" yang secara khusus membahas buku ini. Sebagai pembicara, selain Mbak Irna, hadir juga sejarawan dan penulis JJ Rizal dalam program yang dipandu Nadya Laras dan Istiarto Sigit itu.
Seperti biasa, "Dear Netizen", acara garapan tim multimedia Liputan6.com ini, disiarkan secara live streaming.
Dear Netizen Seru
Rizal menuturkan, dalam sejarah Indonesia yang panjang, keberagaman merupakan salah satu konstruksi rumah Indonesia yang paling besar.
Rizal, yang tampil trendy dengan topi fedoranya, menyebut, buku "Indonesia Rumah Kita" juga selaras dengan isi pidato Presiden RI yang pertama Ir. Soekaro pada 1 Juni 1945. Ketika itu, Soekarno juga mengibaratkan Indonesia sebagai "rumah", rumah tangga. Tanggal 1 Juni, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pancasila.
Dalam pidatonya itu, kata Rizal, Soekarno mengemukakan sebuah philosofische grondslag, dasar atau pandangan hidup yang mau kita jadikan dasar sebagai sebuah bangsa.
"Menurut Soekarno, untuk merdeka yang kita butuhkan pikiran yang sama. Kita memang punya perbedaan, tapi kita ingin membangun negara bangsa dengan mimpi yang sama. Jadi bukan satu untuk semua atau semua untuk satu. Melainkan semua untuk semua," Rizal, yang juga pendiri Komunitas Bambu, menjelaskan.
Rizal juga menyebut, kebinekaan dan keberagaman adalah sebuah kekuatan. Pria kelahiran Jakarta itu mencontohkan, dalam sejarah yang panjang, kebudayaan Jawa menjadi sangat besar karena menerima aneka macam kebudayaan yang datang.
Asyik dan seru sekali menyimak Rizal bicara tentang keberagaman bersama Mbak Irna dipandu Itho dan Nadya. Sebab, selain menguasai tema yang dibicarakan, Rizal juga menjelaskan pikiran-pikirannya dengan sangat lugas. Dia juga sesekali memasukkan jokes-jokes dalam penjelasannya sehingga membuat suasana semakin cair.
Dia juga mewanti-wanti agar kita tidak melupakan masa lalu itu yaitu keberagaman, seperti yang dipesankan Soekarno, dengan "jasmerah"-nya. Boleh-boleh saja, kata Rizal, kita fokus ke masa depan, namun masa lalu tetap harus jadi pegangan agar jalan kita semakin lempang.
"Hidup memang dijalani ke depan, tapi dipahami ke belakang," begitu closing statement Rizal, yang membuat Itho amazed, takjub. Hmm... dalem memang....