Akun Afi Nihaya Ditangguhkan Facebook, Terlalu Kritis?

Akun Facebook remaja kritis asal Banyuwangi ditangguhkan Facebook. Siapa yang melaporkan?

oleh Sulung Lahitani diperbarui 18 Mei 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2017, 11:30 WIB
Terlalu Kritis, Akun Afi Nihaya Ditangguhkan Facebook?
Doc: Instagram/Afi Nihaya

Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, Afi Nihaya Faradisa dikenal sebagai remaja yang kritis. Gadis remaja dari Banyuwangi ini kerap mengunggah status yang lahir dari buah pemikiran yang tajam.

Status-statusnya bernas dan tidak patah logika. Banyak yang tidak menyangka, remaja seusianya bisa menulis pemikiran yang demikian kritis.

Yang terbaru, Afi menulis pemikirannya soal keberagaman di Indonesia. Ia memberi judul tulisannya "Warisan." Melalui tulisannya, ia mengajak warga Indonesia untuk menjaga toleransi, khususnya di media sosial yang rawan dengan gesekan antar-pengguna.

Menurut dia, sebagai negara yang penduduknya beragam, tidaklah patut umat satu agama mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan. Berikut status lengkapnya.

 

WARISAN

Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa

Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.

Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.

Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.

Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.

Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.

Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.

Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.

Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,
memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."

Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.

Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman". Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.

Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".

Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?

Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?

Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?

Tidak!

Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.

Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.

Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.

Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.

Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.

Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.

Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.


Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.

 

Tulisan yang kritis dan lugas itu dibanjiri komentar-komentar positif dari warganet yang kagum dengan pemikiran gadis remaja itu. Statusnya telah dibagikan lebih dari 15 ribu kali, disukai lebih dari 30 ribu kali, dan dibanjiri ribuan komentar.

"Damn, this is totally insane. Tulisan yang sangat berbobot, namun begitu cair alurnya. Tulisannya menjawab apa yang ada di hati kita sekarang. Angkat topi buatmu, dik. Salut. Salam dari Singaraja, Bali," tulis akun Subianta Eka Kresnawan.

"Dek, tolong penuhi media sosial dengan tulisan-tulisan seperti ini. Banyak kakak-kakak, om-om, tante-tante, kakek, nenekmu di dunia ini yang ternyata tidak sedewasa usianya (baca: kekanak-kanakan) dan perlu belajar darimu," ujar akun Esther Iriani Hutapea.

"Afi, baca tulisnmu itu mesti meneduhkan hati setiap orang, saya doakan kamu menjadi penerus Bangsa Indonesia yang dapat dibanggakan oleh dunia," kata akun Endang S.

Akan tetapi, saat Liputan6.com mencoba menengok kembali status tersebut, akun Facebook Afi Nihaya tak lagi ditemukan. Yang terbaru, lewat akun Instagram-nya, Afi memberi tahu kalau akunnya ditangguhkan oleh pihak Facebook karena laporan beberapa orang.

"TOLONG, DARURAT.
Akun saya atas nama Afi Nihaya Faradisa telah disuspend/ditangguhkan oleh facebook. Diduga akun saya telah direport/dilaporkan secara bersamaan oleh orang-orang yang tidak menyukai apa yang saya tulis di situ.
Selama ini akun itu memang saya gunakan untuk menebar perdamaian dan pesan-pesan positif kepada para pembaca tulisan saya. Akun itu sudah viral, memiliki jangkauan yang luas, serta terdapat 270 ribu followers di sana sehingga efektif untuk digunakan sebagai sarana untuk misi perdamaian Indonesia yang sejak lama saya usahakan."

Demikian yang ditulis oleh remaja tersebut. Di akun Instagram-nya, ia mencoba meminta pertolongan pada warganet bagaimana memulihkan akunnya tersebut.

Jika benar banyak pihak yang melapor, ini berarti ada orang-orang yang tak suka dengan pemikiran kritis remaja tersebut. Sayang sekali, bila anak muda seperti ia dibelenggu pemikirannya.

Ini berbanding terbalik dengan apa yang ditulis Afi di Facebook-nya: "Mengutip perkataan John Dewer, 'Pikiran itu seperti parasut; hanya berfungsi ketika terbuka."'

Tulisan menyentuh Afi bisa dibaca kembali usai di-suspend oleh Facebook selama lebih dari 24 jam.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya